YANGON, (Panjimas.com) – Kelompok hak asasi internasional, Amnesty International (AI) telah mendesak pemerintah Myanmar untuk mengangkat pembatasan aliran bantuan kemanusiaan ke wilayah negara bagian Rakhine barat dan wilayah negara bagian Kachin utara.
Amnesty International mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Kamis (20/10) bahwa bentrokan bersenjata dan kekerasan telah memperburuk situasi kemanusiaan di Kachin dan Rakhine, mengutip laporan Anadolu.
Kedua wilayah itu adalah rumah bagi puluhan ribu penduduk yang dipaksa mengungsi akibat kekerasan dalam beberapa tahun terakhir, di antaranya adalah para penduduk Muslim Rohingya yang kini berstatus tanpa negara negara, bahkan PBB juga menyebut Muslim Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
“Pihak berwenang Myanmar harus segera mengangkat pembatasan yang mencegah PBB dan lembaga kemanusiaan lainnya untuk membantu para warga yang membutuhkan,” demikian pernyataan Direktur Amnesti Internasional Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, Rafendi Djamin.
“Peristiwa-peristiwa beberapa minggu terakhir telah memperburuk situasi itu, dan menempatkan lebih banyak penduduk yang kini hidup penuh risiko,” kata Djamin, mengacu pada pembunuhan 9 polisi oleh penyerang bersenjata selama serangan pada pos penjaga perbatasan di kota Maungdaw dan Yathay Taung.
Sebuah tindakan kekerasan berikutnya, tercatat sekitar 34 orang tewas.
Menurut UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, sekitar 87.000 orang telah mengungsi di Negara Bagian Kachin sejak pertempuran meletus antara pasukan pemerintah Myanmar dengan pasukan pemberontak Kachin pada Juni 2011.
Dalam pernyataan hari Kamis (20/10), Amnesty Interansional menuding pihak berwenang Myanmar telah memblokir upaya PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi di wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak di Kachin sejak bulan April 2016.
“Warga sipil tidak boleh dimasukkan ke dalam posisi atau situasi di mana mereka tidak memiliki pilihan lain selain untuk menempatkan hidup mereka dalam bahaya terutama untuk mengakses lebih banyak bantuan-bantuan yang dibutuhkan,” pungkas Rafendi Djamin.
Lebih dari seminggu setelah serangan mematikan di pos jaga perbatasan, media telah mengklaim bahwa situasi keamanan menjadi lebih berat di Maungdaw, dan pemerintah Myanmar telah mencegah PBB dan organisasi non-pemerintah untuk memberikan bantuan.
Isolasi parah di wilayah miskin Rakhine serta pembatasan masuknya para wartawan independen dan lembaga pemantau telah membuat situasi sangat sulit untuk menilai skala perpindahan, atau memverifikasi laporan yang keluar dari wilayah tersebut, demikian penekanan pihak Amnesty International (AI).
“Sumber-sumber lokal mengatakan kepada kami bahwa para penduduk desa, yakni Muslim Rohingya tidak dapat mengakses perawatan medis,” imbuh Djamin..
“Pihak berwenang Myanmar harus memastikan bahwa hak-hak asasi manusia terhadap masyarakat Rohingya ini haruslah dihormati.”
Menurut sebuah laporan media hari Rabu (19/100, para pengungsi etnis Rohingya di Rakhine yang telah ditampung di Maungdaw mengatakan mereka belum menerima tawaran dari badan-badan PBB dan LSM untuk bantuan kemanusiaan.
Seorang anggota dari organisasi masyarakat yang membantu menampung sekitar 300 orang di sebuah biara di Maungdaw, bahkan menuduh badan-badan PBB dan LSM mengabaikan kebutuhan para penduduk di Rakhine.
“Kami, orang Rakhine, berada dalam kesulitan. Tapi tidak ada Badan PBB atau LSM yang ingin membantu kami, ” kata Aung Kyaw Min seperti dikutip oleh surat kabar Voice.
“Kami tidak akan menerima bantuan dari mereka bahkan jika mereka menawarkannya kepada kami.”
Sebuah papan muncul yang menyebut “Kami tidak perlu dukungan dari PBB dan LSM”, papan ini diletakkan di pintu masuk biara, kata laporan Voice itu. [IZ]