ARAKAN, (PAnjimas.com) – Pihak berwenang Myanmar di Negara bagian Arakan baru-baru ini menyatakan bahwa mereka berencana untuk meninjau legalitas bangunan-bangunan yang akan mereka hancurkan, termasuk Masjid-Masjid dan sekolah-sekolah Islam di kota mayoritas Muslim Maungdaw.
Menteri Negara Keamanan dan Urusan Perbatasan Kolonel Htein Lin mengatakan pada konferensi pers bahwa bangunan-bangunan yang dijadwalkan akan dihancurkan di kota Maungdaw, akan mengalami pemeriksaan untuk menentukan apakah itu dibangun secara legal.
Htein Lin menunjukkan bahwa pembongkaran belum dimulai, meskipun rumor tersebut telah menyebar luas melalui jaringan media sosial.
“Jika kami menemukan bangunan yang dibangun secara ilegal, Kami akan mengajukan gugatan dan mengikuti keputusan pengadilan,” kata Lin,
Htein Lin menunjukkan bahwa ada lebih dari 3.000 bangunan ilegal di Maungdaw, para pemiliknya akan menghadapi sanksi denda atau hukuman dua tahun penjara, apabila dalam kasus itu, gugatan pemerintah terbukti.
Haji Maung Bar, seorang Pemimpin komunitas Muslim Maungdaw, seperti dilansir Myanmar Times, mengatakan bahwa Ia tidak mengetahui mengapa pemerintah ingin menghancurkan Masjid-Masjid yang ada dan juga sekolah-sekolah Islam.
Haji Maung Bar menambahkan bahwa pemerintah harus mencari situs alternatif dalam hal rencana penghancuran mereka itu, sehingga masyarakat Muslim dapat tetap menunaikan shalat dan bersekolah.
Seperti diberitakan Panjimas sebelumnya, lebih dari 3.000 bangunan di Rakhine termasuk diantaranya 12 Masjid dan 35 Madrasah (sekolah Islam) dibangun tanpa izin dari otoritas setempat, terutama di sebagian kota-kota Muslim seperti Maungdaw dan Buthidaung di wilayah utara Rakine, sejumlah Masjid dan Madrasah itu akan segera dibongkar oleh pemerintah Rakhine, mengutip laporan Voice Daily.
Menteri Keamanan dan Urusan Perbatasan Rakhine, Kolonel Htein Linn, menyatakan bahwa, “Kami sedang bekerja untuk menghancurkan Masjid-Masjid dan bangunan lainnya yang dibangun tanpa izin sesuai dengan hukum.”
Rencana penghancuran belasan Masjid dan puluhan Madrasah milik Muslim Rohingya di Rakhine itu telah menyebabkan kekhawatiran di kalangan warga.
Para pemimpin Muslim menanggapi rencana itu dengan menyebut bahwa langkah tersebut dapat menciptakan ketegangan yang tidak perlu antara komunitas Buddha dan Muslim di negara bagian Rakhine, mengutip laporan Democratic Voice of Burma (DVB).
“Rencana ini dapat mengakibatkan kekerasan agama dan masalah yang tidak diinginkan lainnya,” ujar pemimpin Muslim yang tidak ingin disebutkan namanya itu yang dari kota Maungdaw.
“Kebijakan ini bukan bersifat konstruktif melainkan akan menciptakan dilema bagi masyarakat setempat.”, imbuhnya.
Negara bagian barat Myanmar Rakhine, telah mengalami serangkaian peristiwa kekerasan komunal antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya sejak tahun 2012. Insiden kekerasan ini hampir menewaskan 100 jiwa dan menjadikan sekitar 140.000 warga Rohingya menjadi para pengungsi, bahkan sebagian besar anggota komunitas Muslim Rohingya kini hidup tanpa negara.
Selama pertemuan dengan warga di ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe, hari Selasa (20/09), Menteri Keamanan dan Urusan Perbatasan Rakhine, Kolonel Htein Linn, mengatakan pemerintah Rakhine akan mengeluarkan pengumuman resmi dalam waktu dekat dengan waktu yang ditetapkan untuk pembongkaran [Masjid dan Madrasah], seperti dilansir Voice Daily.
“Ini adalah suatu keharusan untuk menindak bangunan ilegal yang tumbuh,” kata Kolonel Htein Linn.
Menurut pemerintah Rakhine, saat ini terdapat 2.270 bangunan ilegal termasuk 9 Masjid dan 24 sekolah Islam di kota Maungdaw, sementara itu terdapat 1.056 bangunan liar, di antaranya 3 Masjid dan 11 Madrasah di kota Buthidaung.
Sebagaimana diketahui, umat Muslim mencakup lebih dari 90 persen dari total penduduk di dua kota yang berbatasan dengan Bangladesh itu, Maungdaw dan Buthidaung.
Sebagian besar bangunan akan dihancurkan adalah bangunan yang dimiliki oleh umat Islam, menurut laporan DVB hari Senin lalu (19/09).
Sejak Partai Liga Nasional untuk Demokrasi berhasil memenangkan pemilu 8 November, Ketua Partai NLD (yang juga kini menjabat sebagai Penasihat Negara) Aung San Suu Kyi berada di bawah tekanan internasional yang luar biasa untuk memecahkan masalah penduduk Muslim Rohingya di negara itu.
Sayangnya, Suu Kyi, tokoh yang digelari demokrat sejati itu, malah memilih berkompromi dengan faksi ekstrimis Buddha dengan bertindak sangat lamban dalam persoalan Rohingya karena Ia takut dengan faski nasionalis Budhha di negara itu, banyak dari para ekstrimis Buddha di Myanmar yang telah menuding umat Muslim mencoba untuk memberantas tradisi Buddhis di Myanmar.
Suu Kyi, bersikeras dengan gagasan bahwa banyak masalah yang menyebabkan ketegangan agama di Rakhine – Ia malah menyebut jantung masalah terletak di bidang ekonomi, dan berupaya mendorong investasi di daerah itu. Banyak pihak berharap bahwa partainya NLD akan memimpin rekonsiliasi antara komunitas Buddha dan Muslim.
Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 orang, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.
Menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sering mengalami penahanan sewenang-wenang dan perpajakan, kerja paksa, dan penyitaan properti, demikian menurut laporan Human Rights Watch (HRW).
Merujuk pada kesepakatan PBB tentang UU Kewarganegaraan tahun 1982, dimana sudah menjadi kewajiban untukbmemasukkan semua Agama dan etnis minoritas, termasuk Muslim Rohingya, agar dapatn menjamin hak-hak kewarganegaraan penuh dan juga kesetaraan, selain untuk penghapusan kebijakan yang telah menargetkan Rohingya di negara bagian Rakhine. [IZ]