YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Prok Prok Prok. Sepatu Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) terdengar di sepanjang penjuru kota Yogyakarta. Desember tahun 1965, pasukan yang dipimpin Sarwo Edhi Wibowo menangkap ribuan orang PKI dan pendukungnya. Mereka disekap di Benteng Vredeburg yang berada di jalan Ahmad Yani, Yogyakarta.
Dari ribuan tahanan politik tersebut, terdapat Djoko Pekik. Pelukis yang merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Gonggongan anjing milik pekik yang berada jauh di halaman rumahnya, mulai masuk melalui sela-sela pintu yang berada di ruangan tempat saya mendengar beliau menceritakan kisahnya saat ditangkap RPKAD.
Kumis tipisnya kembali bergoyang, dirinya berujar, “Saat ditahanan kami disakiti, disiksa dan juga tahanan satu sama lain diadu,” ungkapnya. Hampir setiap hari ada tahanan yang mati. Dirinya juga teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk mencangkung dan menatap ke tanah.
Akibat penyiksaan yang diterimanya selama di penjara 1965-1972, membuat pelukis berumur 79 tahun itu sempat trauma. Tapi dirinya mengakui, semua penyiksaan yang dilakukan RPKAD kepada dirinya selama di tahanan tidak membuatnya dendam.
“Saya tidak dendam dengan RPKAD ataupun Suharto. Mereka hanyalah alat neokolonialisme. Saya dendamnya dengan orang yang menggerakkan mereka,” tegasnya saat ditemui Panjimas medio Agustus lalu.
Dirinya pun merasa kecewa dengan sikap anak muda zaman sekarang, yang banyak tidak mengetahui sejarah dan hanya bisa menyalahkan almarhum Suharto.
“Anak muda cuma pada tahu saat itu yang memimpin Suharto. Soal neokolonialisme jarang orang yang tahu. Jadi mereka hanya tahu kekerasan Soeharto, tidak mau tahu di belakang Soeharto siapa,” pungkasnya. [TM]