TEL AVIV, (Panjimas.com) – Seorang mantan Jenderal Militer Israel mengecam keras aksi pendudukan militer IDF (Israel Defence Forces ) di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada hari Rabu (31/08), saat ia diminta berbicara pada sebuah konferensi di Herzliya, seperti dilansir oleh MEMO.
Mayor Jeen. (Purn.). Gadi Shamni, mantan Kepala Komando Pusat Militer Israel tahun 2007-2009, mengklaim bahwa Israel “telah menjadikan aksi pendudukan Palestina sebagai suatu bentuk seni.”
Dia pun menambahkan bahwa “Kami [Israel] adalah Juara Dunianya Aksi Pendudukan.”
Menurut Mayjen (Purn) Shamni, “IDF (Israel Defence Forces) sibuk untuk mengendalikan populasi 2,5 juta warga sipil Palestina, yang mana, ini mengalihkan tentara Israel dari fungsi utamanya. IDF mengalami kesulitan dalam mempersiapkan ancaman yang akan dihadapinya. Etika dan kemampuan tentara Israel menjadi luntur dan lemah, serta mereka hanya menjadi alat sarung tinju bagi para politisi.”
Jurnalis Hareetz: Israel Negara Paling Rasis dan Haus Darah di Dunia
Pengakuan seorang mantan Jenderal militer Israel ini melanjutkan catatan kecaman keras beberapa tokoh di Israel terhadap tindak-tanduk negara Zionis itu. Sebelumnya, seorang koresponden media terkemuka Israel, Haaretz, Gideon Levy, menyebut Israel sebagai “negara paling rasis di dunia”. Kecaman keras Levy ini menanggapi maraknya dukungan warga Israel terhadap pembunuhan keji warga Palestina di Hebron yang sedang sekarat dan terluka parah oleh tentara Isarel bernama Roman Zadorov.
“Israel adalah negara yang haus darah dan rasis”, menurut Levy ini tampak kentara dari maraknya dukungan terhadap Roman Zadorov oleh para warga Israel, hanya karena ia membunuh warga Palestina, kemudian mereka menyebutnya sebagai ‘folk hero’, “Pahlawan Rakyat”, mengutip Haaretz.
Dalam artikelnya yang berjudul “Never Have So Many Cheered Such A Vile Murderer” ia menulis bahwa mayoritas warga Israel mendukung tindakan tentara Israel ini dan menyebutnya sebagai pahlawan hanya karena satu alasan, “dia membunuh warga Palestina”.
Menurut jurnalis pemenang Euro-Med Journalist Prize 2008 ini, fenomena ini adalah pertama kalinya dimana suatu pembunuhan tak manusiawi dianggap sebagai sebuah aksi kepahlawanan bagi rakyat di sebuah negara, yakni Israel.
Rasisme Israel telah mencapai babak baru, jelas Levy. Tindakan rasis ini didasari arogansi (kesombongan) seorang Yahudi sebagai “orang-orang terpilih”, ‘the chosen people’. Sehingga semua hal diperbolehkan bagi sosok ras terpilih, yang menurut mereka lebih tahu dan pandai memanipulasi persepsi diri mereka sebagai korban tak berujung, dan penganiayaan, menjelek-jelekkan ras Arab, yang mereka anggap selalu ingin menghancurkan mereka, seakan-akan nyawa manusia selain ras mereka tak berharga”.
Tindakan pengecut ini, pungkasnya, dianggap sebagai prestasi oleh warga Israel yang sangat membenci umat Muslim dan memandang rendah kehidupan mereka.
“Rasisme Israel ini tampak pada hasutan, bantahan atas represi, dan kebohongan mereka mengenai ketangguhan militer Israel,” jelasnya.
Sifat haus darah warga Israel sekarang, boleh ditampakkan secara terbuka dan tak akan ditutup-tutupi atau menemui hambatan sama sekali.
“Dengan fondasi tersebut, sedang dibangun sebuah masyarakat rasis, sangat mungkin ini adalah negara paling rasis di dunia saat ini”, jelas Levy.
“Kombinasi rasisme dan sifat haus darah ini tidak hanya menjijikkan, tapi juga tak stabil dan berbahaya. Ada rasisme yang menjangkiti banyak masyarakat, yang umumnya tersembunyi dan terpinggirkan.
Akan tetapi di Israel, ini adalah sebuah standar, mungkin merupakan kebenaran politik tertinggi, dan menentang hal itu adalah sebuah pengkhianatan,” kata Gideon Levy.
Selain itu, menurutnya, sangat diragukan ada masyarakat Barat lain yang memiliki rasisme disertai dengan sifat haus darah tersebut.
Kulit putih membenci orang kulit hitam di Amerika Serikat dan Afrika Selatan, Eropa membenci para pengungsi, orang Kristen membenci Muslim, tapi tidak dengan sifat haus darah dan menyetujui pembunuhan kejam tersebut. Teriakan “Death to the Arabs”, “Kematian bagi orang Arab” telah dipraktikkan dalam kehidupan warga Israel pada signifikansi praktis yang sangat mengejutkan.
Ini adalah arus dalam yang sulit untuk berhenti. Rasisme dan sifat haus darah mereka telah menetap jauh di hati orang-orang Israel, ini merupakan hasil dari dekade-dekade hasutan dan pencucian otak, jelasnya. [IZ]