JAKARTA, (Panjimas.com) – IAH yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Medan, Sumatera Utara merupakan anak usia 17 tahun. KPAI, BNPT dan pihak terkait menggelar rapat terbatas terkait untuk mendiskusikan persoalan perlindungan anak dari paparan ideologi terorisme.
“Konsen kita anak yang mejadi pelaku kemarin itu di dalam perpektif korban, adalah korban dari proses doktrinasi yang cukup panjang,” kata Asrorun di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2016). Demikian dilansir detik.
Terkait terorisme yang melibatkan anak, lanjutnya, KPAI memiliki konsen bahwa bagian perlindungan anak adalah perlindungan dari paparan ideologi yang menyimpang. Ideologi yang tidak berkesesuaian dengan ajaran pokok-pokok agama.
“Nah kasus di Medan dan di beberapa titik, terorisme menyasar anak-anak, baik anak yang menjadi korban langsung maupun anak yang korban doktrinasi sehingga potensial menjadi pelaku,” ujarnya.
“Usia anak yang di Medan itu belum 18 tahun dia bisa melakukan itu. Pasti ada conditioning dan juga doktrinasi,” sambungnya.
Ketika anak menjadi pelaku tindak pidana termasuk pidana terorisme, kata Asrorun, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dengan menempatkan anak sebagai korban, sehingga butuh direstorasi butuh dipulihkan.
Menurutnya, pendekatan restoratif ini menjadi penting dalam kerangka memutus mata rantai transmisi kekerasan dengan kader anak-anak. Sebab jika hal ini tidak ditangani secara serius sedari dini, maka akan muncul embrio terorisme baru.
“Ini harus diputus mata rantai itu,” ucapnya.
Karena itu, Asrorun menekankan harus ada proses pencegahan agar anak yang terindikasi terpapar radikalisme bisa diselamatkan, dilindungi dan dipulihkan.
“Dengan cara KPAI mengenalkan re-edukasi, melakukan proses pendidikan ulang tidak sampai masuk kepada ideologisasi atas pandang yang tidak berkesesuaian dengan ajaran agama,” ujarnya.
Selain itu, Asrorun juga menyoroti beberapa hal terhadap penanganan pelaku bom bunuh diri di Medan.
“Ada beberapa yang butuh dikoreksi yaitu soal perlukaan, soal intimidasi kita bisa lihat gambar kemudian foto beredar saya lihat,” ujarnya.
Dia menekankan, langkah perlindungan anak adalah tidak menyebutkan identitas jika anak menjadi pelaku.
“D situ (kasus Medan) digambarkan anak berdarah-darah, kemudian ada kesan penyiksaan, tentu ini sangat tidak berkesesuaian dengan prinsp perlindungan anak sehingga penting untuk kita ingatkan,” tegasnya.
“Bahwa anak yang menjadi pelaku tindak pidana hak-hak dasarnya tetap ada. Sungguh pun tidak dalam kerangka membenarkan tindak pidananya, tapi kalau anak pelakunya butuh spesial treatment,” urainya. [RN]