JAKARTA (Panjimas.com) – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas mengatakan tidak dibukanya draf naskah akademik Rancangan Undang Undang Terorisme bakal memunculkan pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari.
“Mulai pelanggaran kebebasan berserikat, berpendapat, dan berkumpul,” katanya pada Rapat Kerja Nasional Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadyah, seperti dilansir Tempo, Ahad, 28 Agustus 2016 lalu.
Menurut Busyro, publik selama ini tidak mendapat akses untuk mempelajari pasal demi pasal draf revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu,
Menurut Busyro, beleid terorisme yang saat sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, dikhawatirkan bakal dengan mudah mencap seseorang bertindak subversif bila ada perbincangan di masyarakat yang mengarah ke pemikiran radikal. “Naskah akademik RUU ini sampai sekarang tidak pernah dibuka ke publlik, ini bahaya,” ujarnya.
Bagi Muhammadiyah, kata dia, hal subtansial dalam penanggulan terorisme adalah penanganan dari sumber konflik. Menurut dia pemahaman pada sikap radikal harus benar-benar bisa dimengerti para penegak hukum. “Radikalisme membahayakan jika itu berwujud dalam tindakan, namun berpikiran secara radikal dari aspek akademis itu justru diperlukan,” ujarnya.
Muhammadyah pun meminta DPR dan pemerintah memberikan akses kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan mempelajari naskah revisi RUU Terorisme itu sebelum disahkan oleh DPR.
Busyro berharap pada Kapolri saat ini, Jenderal Polisi Tito Karnavian, dapat membuka pintu dialog soal revisi UU terorisme ini. Tito, menurut Busyri dinilai memiliki pandangan modern soal terorisme. Begitu pula dengan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Suhardi Alius yang dianggap bisa membuka pintu dialog soal terorisme.
Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Ahmad Hanafi Rais mengatakan pembahasan RUU ini masih berkutat pada persoalan pelibatan militer. Karena itu, ia meminta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto membangun diskusi terlebih dulu antara TNI dan Polri agar satu suara. “RUU ini kan inisiatif pemerintah,” katanya 19 Agustus lalu.
Menurut politikus Partai Amanat Nasional ini, Wiranto harus mencari kesepakatan antara TNI dan Polri soal pasal pelibatan militer tersebut. “Sehingga, di DPR tidak untuk mengadu dua institusi ini,” ujarnya. Masih alotnya polemik pelibatan militer ini, menurut Hanafi membuat RUU Terorisme tidak mungkin bisa disahkan pada masa sidang ini. [AW/Tmp]