JAKARTA, (Panjimas.com) – Jelang dua bulan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (tax amnesty) kinerja perolehan uang tebusan untuk menambal kocek negara yang sedang dihantui gagal fiskal, telah mulai terlihat. Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) membeberkan perkembangan, perolehan uang tebusan hingga 20 Agustus 2016 untuk nilai harta yang dideklarasikan maupun dibawa pulang ke Indonesia.
Dari data Dirjen Pajak, menunjukkan dana hasil repatriasi tercatat hanya Rp 1,44 triliun dari total keseluruhan jumlah harta Rp 37,27 triliun. Jumlah Surat Pernyataan Harta (SPH) yang telah disetor ke Direktorat Jenderal Pajak sejak Juli hingga 20 Agustus 2016 sebanyak 6.896 SPH. Sedangkan uang tebusan yang terkumpul hanya Rp857 miliar.
Dengan data itu, terlihat keberhasilan pelaksanaan UU itu hanya sekadar mimpi saja. Karena itu, pemerintah kemudian beralih untuk mendongkrak potensi penerimaan dari subyek pajak yang beroperasi di dalam negeri. Rakyat yang berpenghasilan menengah ke bawah pun yang banyak taat pajak dan tidak pernah menyimpan dananya di luar negeri mulai dikejar, bahkan diancam denda atau sanksi yang sangat tinggi.
Melihat realitas tersebut Muhammadiyah melalui Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui release yang dikirimkan ke Panjimas Senin, (28/8) menilai ada ketidak jelasan sikap pemerintah dalam hal pengampunan pajak tersebut. Maka dari itu melalui Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah Mukhaer Pakkana, Muhammadiyah menyampaikan tiga rekomendasi terkait kebijakan penga mpunan pajak tersebut.
Pertama, Muhammadiyah meminta kepada pemerintah untuk menunda pelaksanaan UU Pengampunan Pajak atau perpanjang pentahapan sosialisasi UU tersebut. Jangan karena waktu semakin mepet jelang akhir tahun anggaran dan kegagalan perolehan uang tebusan dan repatriasi dana dari luar negeri, pemerintah mengambil jalan pintas yang tidak terdesain dengan matang. Rakyat pun dikorbankan, APBN pun dipreteli hingga Rp133 triliuan, dan harga rokok pun hendak dinaikkan untuk menambal kegagalan fiskal.
Kedua, pemerintah harus serius mengejar dana simpanan pemodal kakap, koruptor, dana penyolong hasil alam kita, hingga rekening gendut para pejabat/mantan pejabat yang selama ini menghidari pajak dan di parkir di luar negeri. Bahkan, sesumbar Presiden Jokowi diawal pemberlakuan UU ini menyampaikan ke publik, bahwa pemerintah sudah memiliki data detail, rekening hingga alamat. Tapi hingga kini, pemerintah belum berhasil menunjukkan kinerja perolehan dana dari mereka. Bandingkan perolehan penerimaan HP merek Galaxy Note 7 yang ludes terpesan hanya dalam waktu tiga hari pasca pembukaan pre-orderpada 23 Agustus 2016 yang mencapai triliunan rupiah.
Ketiga, kalaupun UU Pengampunan Pajak ini tetap berjalan, segera buat tim sosialisasi. Libatkan Perguruan Tinggi, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, tokoh masyarakat, dan lainnya. Jangan serahkan semuanya ke petugas pajak untuk sosialiasi. Mereka kurang memiliki pengalaman berinteraksi dengan masyarakat. Kalau tim sosialiasasi ini tidak solid, kepercayaan pemerintah yakin semakin tergerus di mata publik.
“Kami berharap pemerintah merespon apa yang menjadikan rekomendasi Muhammadiyah ini untuk kemaslahatan umat,”kata Mukhaer.
Terkait dengan undang – undang pengampunan pajak ini Muhammadiyah siap berdialog kepada siapapun baik pengambil keputusan publik maupun masyarakat sehigga produk hukum ini bisa dipertanggung jawabkan. [RN]