JAKARTA (Panjimas.com) – Dewan Fakultas Bahasa dan Sastra UNAS Prof Dr Wahyu Wibowo mengungkapkan bahwa jika suatu bangsa mengabaikan sastra, maka tidak heran jika ada kegaduhan di dalamnya.
“Sastra itu seperti perekam, karena di tradisikan terus menerus. Secara bathin kita kekurangan nilai-nilai sastra. Sebab, nilai-nilai sastra sudah diambil oleh televisi seperti dongeng-dongeng dan lain-lain.” ujar Prof Wahyu Wibowo di Jajarta Islamic Centre, Jakarta, Selasa (23/8/2016).
Jakarta Islami Centre Divisi Pengkajian dan Pendidikan, Selasa (23/8/2016) menggelar seminar bertajuk Tokoh Islam dengan tema, “Berguru Kepada Buya Hamka: Menggali Konsep Pendidikan Karakter dari Karya-karya Sastra Buya Hamka”.
Turut hadir sebagai pembicara, yaitu: Dr Taufik Ismail seorang penyair dan Prof. Dr. Wahyu Wibowo selaku Dewan Fakultas Bahasa dan Sastra UNAS. Tidak hanya itu, putra Buya Hamka Afif Hamka pun turut diundang, tetapi sampai acara selesai, Afif Hamka belum juga datang.
Lebih lanjut, menurut Prof Wahyu Wibowo, jika sastra sudah diambil alih oleh televisi atau dunia perfilman selain nilai-nilai sastranya hilang dan nilai-nilai keutuhan dari sebuah cerita pun pasti hilang (tidak sempurna) seperti halnya dalam sebuah novel.
Prof Wahyu Wibowo juga memberikan sebuah contoh kisah yang tidak sesuai dengan fakta yang diungkapkan dalam novel ketika sebuah sastra sudah dituangkan ke dalam televisi atau dunia perfilman.
“Bapak-Ibu tau kisah Siti Nurbaya? Siti Nurbaya di dalam televisi bagaimana? S3b3nernya, Siti Nurbaya tidak pernah kawin terpaksa. Kawin paksa itukan warisan belanda. Tidak ada kawin terpaksa (paksa),” tuturnya.
Ia juga mengajak peserta seminar yang hadir dalam forum untuk membaca apa adanya secara teks (literalisme). Sekarang, kata dia, yang harus digalang itu gerakan kritisisme.
“Pembacaan kritisisme itu harus digencarkan oleh ibu-ibu, karena ibu-ibu lah yang dekat dengan anak-anaknya,” katanya.
Budi pekerti yang ada sekarang ini, lanjutnya, akarnya tidak jelas! Jika etika, maka etika yang seperti apa? Jika pendidikan karakter, maka pendidikan karakter seperti apa?
“Tapi, jika kita lihat Buya Hamka, maka jelas. Dalam pandangan kritis saya, Buya Hamka memiliki itu,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa jika kita belajar dari pendidikan karakter Buya Hamka, maka ia berangkat dari nilai-nilai Islam, dalam hal ini akhlaqul karimah. [AW/Iyan]