MEDAN, (Panjimas.com) – TNI dan seluruh anggotanya adalah pengayom rakyat dan seharusnya mau mematuhi keputusan hukum dalam sengketa lahan 260 ha di Polonia, Medan.
“Sengketa lahan antara TNI dan masyarakat itu sudah diputus oleh pengadilan mulai dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung dan dimenangkan oleh masyarakat,” tegas Anggota Komisi III DPR, Raden Muhammad Syafi’i kepada wartawan, Jumat (19/8). Demikian dilansir rmol.
Menurut dia, berdasarkan keputusan MA yang sudah inkracht, masyarakat Sari Rejo sah sebagai penggarap dan lahan yang mereka garap bukan dalam penguasaan TNI AU. Keputusan itu sudah sesuai dengan UU Pokok Agraria.
“Oleh karena itu kalau TNI kemudiah mengalihkan hak penguasahaan lahan kepada pihak lain maka ini isu sudah pelanggaran hukum. TNI lahir dari rakyat untuk rakyat bukan lahir dari rakyat untuk pengusaha. Mereka dibiayai oleh rakyat,” tegas politisi Gerindra ini.
Dia menambahkan lagi, sikap arogansi aparat yang menganiaya masyarakat dan justru melindungi kepentingan pengusaha itu tindakan pidana maka pelaku harus dihukum.
“Saya mencatat ada beberapa tindakan aparat yang diluar batas, mulai dari masuk masjid tanpa melepas sepatu, menarik orang yang sedang berada dalam masjid, merusak kotak amal, memukuli masyarakat termasuk anak-anak dan perempuan dan juga penistaan agama,” ungkapnya.
“Ini harus dihukum berat.Jika pimpinan TNI tidak menghukum, berarti mereka melecehkan hukum. Pasal 52 KUHP mengatakan ada pemberatan hukuman jika yang melakukan adalah aparat.Jadi mereka yang terlibat harus dihukum seberat-beratnya,” sambung legislator yang sempat menggemparkan dengan doa politiknya saat Sidang Paripurna DPR Selasa lalu (16/8).
Selain itu, dia meminta agar TNI membayar kerugian yang ditimbulkan akibat peristiwa itu.
“Harus membayar biaya perobatan dari para korban di rumah sakit, juga para jurnalis yang sedang melakukan tugasnya dan dilindungi UU yang ikut dianiaya. Kalau itu semua tidak dilakukan maka yang bertanggungjawab harus mundur dan kalau tidak mau mundur maka panglima harus mengganti mereka,” demikian Romi Syafi’i, begitu dia kerap disapa. [RN]