JAKARTA, (Panjimas.com) – Polemik mengenai status kewarganegaraan kembali mencuat pasca naiknya isu dwi kewarganegaraan mantan menteri ESDM Arcandra Tahar dan Paskibraka Gloria Natapradja Hamel. Polemik ini memicu komentar dari berbagai pihak, termasuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Hal ini dinyatakan oleh Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI, Adhe Nuansa Wibisono.
“Kasus Menteri Arcandra Tahar dan Paskibraka Gloria Natapradja ini menjadi momentum bagi peninjauan kembali UU Kewarganegaraan. Saya melihat UU yang ada belum mampu mengatasi masalah yang dihadapi oleh diaspora Indonesia dan anak hasil pernikahan campuran,” kata Wibisono, Jumat (19/8).
KAMMI menilai revisi UU Kewarganegaraan harus disikapi dengan bijak dan menempatkan kepentingan strategis Indonesia sebagai prioritas. “Manfaat dari opsi dwikewarganegaraan adalah Indonesia dapat memanggil kembali sumber daya manusia terbaiknya di luar negeri untuk terlibat dalam pembangunan nasional,” ungkap Wibisono.
“Jangan sampai masalah administrasi yang ada mempersulit diaspora Indonesia yang ingin kembali membangun tanah air. Kembalinya diaspora Indonesia ke tanah air akan menjadi fenomena brain gain yang akan membawa dampak positif yaitu transfer teknologi, pengetahuan dan networking”, tegasnya.
Lebih lanjut Wibisono mengatakan revisi UU Kewarganegaraan dapat melindungi diaspora Indonesia di seluruh dunia yang ingin mempertahankan status WNI yang dimilikinya. “Revisi ini dapat memayungi diaspora Indonesia di seluruh dunia, harapan untuk membangun jaringan Indonesian Overseas menjadi mungkin dengan perubahan ini.”
“Ada banyak potensi diaspora Indonesia yang memiliki skill dan kompetensi tinggi, tetapi mereka harus melepas status WNI-nya dan menjadi WNA karena Indonesia tidak menyediakan opsi warganegara ganda,” tambahnya.
Senada dengan pernyataan tersebut, Wakil Ketua Umum PP KAMMI, Arif Susanto mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk meminimalisir celah negatif revisi UU Kewarganegaraan. “KAMMI menghimbau agar pembahasan dapat mencegah potensi penyalahgunaan dwikewarganegaraan seperti kasus pengemplangan pajak, pemulihan status WNI bagi oknum separatisme dan pencari suaka politik yang dapat menjadi ancaman keamanan nasional.”
Arif menambahkan seharusnya pemerintah tidak perlu inferior dengan opsi dwikewarganegaraan, ini menjadi alternatif strategi untuk memperjuangkan kepentingan strategis Indonesia.
“Jika cara pandangnya dibalik, dengan dwikewarganegaraan Indonesia akan memiliki jaringan SDM di luar negeri yang memahami peta dunia bisnis dan akses informasi ke negara asing. Tentunya ini akan menguntungkan Indonesia,” ungkapnya.
Terkait aspek penguatan nasionalisme, Arif mengusulkan Bela Negara menjadi program yang dapat diberikan pemerintah kepada WNI yang berada di luar negeri.
“KAMMI meminta Lemhannas dan KBRI agar bekerjasama untuk memberi wawasan kebangsaan dan program bela negara untuk memperkuat nasionalisme diaspora Indonesia yang memilih status warganegara ganda,” tandasnya. [RN]