JAKARTA, (Panjimas.com) – Seperti dilansir Daily Star, Google diduga menghapus ‘’eksistensi online’’ Palestina sejak 25 Juli 2016. Penghilangan Palestina ini pertama kali diungkap oleh forum jurnalis Palestina.
Tentu saja, ulah Google itu menggemparkan dunia. Sebab, Palestina adalah sebuah negara yang diakui dunia.
Deklarasi Kemerdekaan Palestina diproklamirkan pada 15 November 1988 di Aljir oleh Dewan Nasional Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Hingga 18 Januari 2012, sebanyak 129 (66,8%) dari 193 negara anggota PBB, telah mengakui Negara Palestina.
Selanjutnya, dalam voting yang diadakan Majelis Umum PBB pada 29 November 2012, lebih duapertiga dari 193 negara anggota PBB menegaskan pengakuannya dengan menerima Palestina di PBB.
Dalam sidang tersebut, dari 193 negara anggota PBB, sebanyak 138 termasuk Vatikan, menyetujui peningkatan status Palestina dari “entitas” menjadi “negara pengamat non-anggota”. Sembilan negara, termasuk Amerika dan Israel, menolak. Sebanyak 41 negara abstain, dan tiga negara lain tidak ikut voting.
Nah, setelah dipertanyakan dunia, ternyata Google mengaku tidak pernah menghapus Palestina dari aplikasi Google Map, melainkan memang tidak pernah menganggapnya ada.
Dalam pernyataan resminya yang dilansir The Guardian (10/08/2016), raksasa mesin pemburu informasi digital ini menyatakan bahwa nama “Palestine” memang tidak pernah ada dalam Peta Google. Sedangkan label “West Bank” dan “Gaza” yang sempat menghilang dari Google Map, telah mereka pulihkan.
Itulah salah satu keprihatinan yang mengemuka dalam dialog Dewan Dakwah dengan pimpinan Mirasimiz (Mirathuna) Foundation di Kantor LAZIS Dewan Dakwah, Jakarta Pusat, Rabu (17/8).
Hadir dalam perbincangan hangat itu, Chairman Mirasimiz Mohammed Demarji, Nael Saleh (External Relations Manager), Ahmed Issa (Marketing Manager), dan Mahmud Abuowda (Representative Person in Asian Countries).
Sedang tuan rumah terdiri Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Ustadz Abdul Wahid Alwi yang didampingi Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah, Ade Salamun MSi.
Mirasimiz adalah NGO (non-governmental organization) asosiasi yang bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian warisan Khilafah Turki Utsmani di Al Quds dan sekitarnya.
Kerja LSM yang berbasis di Pelabuhan Al Fatih, Istambul, itu antara lain merenovasi bagian dalam Masjid Fadl Ibn Abbas pada 2014.
Sebelumnya, sepanjang tahun 1948, masjid yang terletak di Kota Ramalah ini ditutup oleh Israel sehingga bagian dalamnya rusak. Masjid kemudian dibuka, namun Israel selalu melarang upaya memperbaikinya.
Mirasimiz juga terus berupaya menyelamatkan Masjidil Aqsha. Lembaga ini menghimpun dan menyalurkan donasi dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia melalui LAZIS Dewan Dakwah, untuk menghidupi Muraabithun. Yaitu komunitas Muslim yang senantiasa berada dan berjaga di Masjidil Aqsha. Mereka tak bersenjata, tak berpenghasilan, namun siap mati demi membela martabat Islam atas tempat suci ini.
‘’Untuk memakmurkan Aqsha, kami setiap hari memobilisasi jama’ah dari perkampungan muslim untuk shalat di Al Quds. Khusus pada hari Jumat kami bisa mencarter sampai 100 bus untuk mobilisasi ini,’’ papar Mohammed Demarji.
Ia menambahkan, selama Ramadhan yang baru lalu, mereka juga turut menyediakan konsumsi untuk berbuka dan sahur di Al Quds. Program Ramadhan ini sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
Untuk memperkokoh eksistensi muslim di Al Quds sekaligus menghidupkan perekonomiannya, Yayasan Mirathuna membudidayakan pohon Zaitun di sekitar Al Aqsha.
Dalam kesempatan itu, pimpinan Mirathuna memberikan cindera hati berupa sebotol kecil minyak Zaitun hasil produksi mereka kepada Ustadz Abdul Wahid.
Di akhir persamuhan, Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah menegaskan komitmen muslim Indonesia untuk terus mendukung Palestina semampunya.
‘’Kami juga berterima kasih kepada para donatur LAZIS Dewan Dakwah yang sudah memberikan bantuan buat Palestina. Semoga menjadi amal jariyah para donatur dan inspirasi kebajikan bagi orang lain,’’ tutur Ade Salamun. [RN]