JAKARTA (Panjimas.com) – Puluhan anggota Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) mendatangi Mabes Polri. Mereka mempertanyakan laporannya terkait Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga melanggar UU lantaran tak melaksanakan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Selain anggota Komtak, turuk hadir juga sejumlah tokoh dan aktivis yang menyuarakan agar Ahok segera ditangkap. Diantara yang hadir adalah mantan juru bicara presiden Gus Dur, Adhi Marsadi, Hatta Taliwang, dan Sugiyanto. Bahkan perwakilan buruh yang tergabung dalam Konperasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan warga Kampung Akuarium Luar Batang juga turut hadir.
Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) Lieus Shungkarisma pihaknya mendatangi Mabes Polri untuk menanyakan kelanjutan laporan terkait Ahok yang diduga melanggar UU karena tidak melaksanakan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
“Kita mau tanya, kenapa laporan kita sejak 2015 enggak jalan. Laporan kita tentang Ahok yang tidak melaksanakan rekomendasi BPK. Itu melanggar undang-undang,” jelas Lieus Sungkharisma di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2016).
Lieus menjelaskan, barang siapa tidak melaksanakan rekomendasi BPK orang tersebut bisa dipidana 1 tahun 6 bulan atau denda Rp500 juta. Dalam hal ini, Ahok tidak membatalkan transaksi jual beli RS Sumber Waras dalam waktu 60 hari seperti yang direkomendasikan BPK. Sehingga diduga telah melanggar dari rekomendasi yang dikeluarkan BPK.
Lebih lanjut Lieus mengatakan, seluruh bukti dokumen lengkap tentang pembelian lahan RS Sumber Waras juga telah diserahkan kepada Bareskrim Polri sejak Oktober 2015. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari laporan tersebut. Bahkan Bereskrim juga tidak melakukan pemanggilan baik saksi maupun terlapor.
“Undang-undang harus dijalankan dong. Tapi, kenapa Bareskrim tidak jalankan?” kata Lieus.
Bahkan, Lieus mengaku telah berdialog dengan pihak BPK dan menurut BPK, negara mengalami kerugian hingga Rp800 miliar akibat pembelian lahan RS Sumber Waras.
“Rumah Sakit Sumber Waras yang rencananya Desember diserahterimakan kan enggak bisa, karena pemilik asli tanah Sumber Waras yaitu Yayasan Canderanaya menggugat pada Kartini Mulyadi. Kenapa lu jual? Lu punya hak apa? Dia juga menggugat Ahok, kenapa lu beli? Ini barang bukan punya Kartini Mulyadi. Jadi istilah saya, Ahok ini seperti penadah. Barang yang enggak jelas dia beli dengan uang yang dikeluarkan rakyat,” kata Lieus.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar belum menjawab ketika mengonfirmasi kedatangan Komunitas Tionghoa ke Mabes Polri. Begitupun Kabag Penum Mabes Polri Kombes Agus Rianto. Pesan singkat yang disampaikan Harian Terbit tidak dibalasnya.
Dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan tidak menemukan indikasi kerugian negara. Meski demikian, KPK masih berusaha menyelidiki lebih jauh kasus yang diduga menyeret nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu.
“Data BPK belum cukup indikasi kerugian negara. Jadi penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukumnya, nah oleh karena itu jalan satu-satunya kita lebih baik mengundang BPK, ketemu dengan penyidik kami,” kata Agus di sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/6/2016) yang lalu.
Ahok sendiri pernah diperiksa selama 12 jam oleh KPK, Selasa (12/4/2016) lalu. Usai dimintai keterangan, Ahok mengaku BPK menyembunyikan data kebenaran karena meminta pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan yaitu menyuruh untuk membatalkan transaksi pembelian lahan RS Sumber Waras.
Setidaknya terdapat lima perbedaan antara Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dan keyakinan Ahok. Pertama, menurut BPK pembelian lahan seluas 3,64 hektar itu merugikan keuangan negara sebesar Rp191 miliar karena membandingkan pada tawaran PT Ciputra Karya Utama ke tahan itu setahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 564 miliar. Namun Ahok menilai bahwa tawaran PT Ciputra tersebut terjadi ketika nilai jual obyek pajak (NJOP) belum naik pada 2013. Pada 2014, NJOP naik 200 persen.
Kedua adalah mengenai NJOP yang keliru. Menurut BPK harusnya basis pembelian adalah NJOP memakai Jalan Tomang Utara (sebagai lahan baru yang dibeli pemerintah provinsi DKI Jakarta) yaitu Rp7 juta per meter persegi, bukan Jalan Kyai Tapa sebesar Rp20 juta yang saat ini menjadi lokasi RS Sumber Waras. Sedangkan menurut Ahok, penentu NJOP Sumber Waras adalah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menyebutkan pajak lahan itu mengikuti NJOP Jalan Kyai Tapa.
Ketiga adalah tidak adanya kajian pembelian RS Sumber Waras. Menurut BPK, pemprov DKI terburu-buru membeli lahan itu padahal lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses tapi Ahok menilai Jakarta sedang butuh banyak RS termasuk RS khusus kanker, bahkan belakangan pihak Yayasan Sumber Waras yang menawarkan lahan itu karena sebelumnya akan dijadikan mal oleh Ciputra.
Keempat, BPK menilai pemprov DKI menunjuk langsung lokasi RS Sumber Waras yang menurut Ahok, dalam Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014 soal pengadaan tanah, pembelian lahan di bawah lima hektar bisa dilakukan secara langsung tanpa perlu kajian.
Kelima, BPK mengungkapkan bahwa transaksi pembelian tanah antara Yayasan Sumber Waras dan DKI terjadi saat Yayasan masih terikat Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Utama. Tapi menurut Ahok, dalam perjanjian Yayasan dan PT Ciputra Karya ada klausul yang menyebutkan jika sampai 10 Desember 2014 izin peralihan lahan untuk pusat perbelanjaan dari pemerintah tidak turun, otomatis perjanjian batal dan transaksi terjadi setelah tanggal tersebut. [AW/hanter]