JAKARTA, (Panjimas.com) – Kembali lagi terjadi, tudingan superfisial dialamatkan pada SARA, intoleransi dan provokasi medsos dalam kasus Tanjung Balai Sumatera Utara sebagaimana kisah kerusuhan berbau agama di Sampang maupun Poso. Saat teridentifikasi pelakunya adalah muslim, maka jargon-jargon intoleran dan sejenisnya menyeruak muncul di berbagai media massa.
Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rahmat S Labib, dalam dialog bersama Kapolri Tito Karnavian di kantor CDCC (Center For Dialog and Coperation Along Civilisation) Jakarta pada Kamis (4/8) menyatakan salah satu penyebab konflik antar agama yang terjadi di Indonesia adalah penegakan hukum yang tidak adil. “Selama ketidakadilan hukum masih ada, persoalan konflik tidak akan pernah selesai, “ujarnya.
Beliau juga mempertanyakan perbedaan sikap negara dalam beberapa kasus konflik. Dalam kasus Tolikara, paparnya, dari ratusan massa pelaku pembakaran masjid yang diajukan ke
pengadilan hanya dua orang, sementara dalam rusuh Tanjung Balai sudah belasan orang ditangkap. Ironisnya, keturunan Tionghoa yang menjadi pemicu rusuh, hanya dijadikan saksi. Demikian pula Presiden menyatakan pelaku pengerusakan harus ditindak tegas secepatnya, sementara otak konflik Tolikara malah diundang ke Istana.
Din Syamsudin , Chairman of CDCC, menegaskan agar jangan ada tendensi yang menyudutkan umat Islam. “Kalau umat Islam terus disudutkan, diperlakukan
tidak adil, itu lah yang membuat umat Islam ini akan marah, dan bisa mengarah ke radikalisasi”.
Sasaran peluru intoleran dan pelanggaran HAM beragama ini rupanya memang muslim. Wajar jika teriakan ‘sekarang era tirani minoritas’ bersautan, seiring ketidakadilan yang makin menjadi-jadi di negeri ini. Sungguh, perubahan menuju kondisi yang adil harus terjadi. Dan hanya aturan Allah SWT, Dzat yang Maha Adil-lah yang mampu mewujudkannya. [RN/ Ratih respatiyani]