MAUNGDAW, (Panjimas.com) – Nelayan Muslim Rohingya yang tinggal di kota Maungdaw, Myanmar telah dilarang otoritas Polisi Perbatasan (BGP) Myanmar untuk pergi memancing sehingga mereka tidak dapat mencari nafkah untuk biaya penghidupan mereka sejak tanggal 20 Juli lalu, demikian menurut laporan Rohim Uddin, seorang nelayan Rohingya dari Maungdaw mengutip Rohingya News Agency hari Kamis (04/07).
Komandan Polisi Perbatasan BGP, Aley Than Kyaw telah melarang semua nelayan Maungdaw untuk memancing di sungai. Perintah itu diklaim Komandan BGP datang dari otoritas tingkat tinggi pemerintahan Myanmar, imbuhnya.
Para nelayan Rohingya mengalami kesulitan dalam menghidupi keluarga karena sebagian besar dari mereka sangat bergantung pada ikan untuk bertahan hidup.
“Saya memiliki lima anggota keluarga dan harus mendukung mereka. Jadi saya benar-benar menghadapi kesulitan besar sekarang”, kata seorang nelayan Rohingya.
Yanghee Lee, seorang pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia, mengeluarkan laporan pada bulan Juni yang mengatakan bahwa Muslim Rohingya telah dirampas hak kebangsaannya dan mengalami diskriminasi sistematis serta pembatasan pada gerakan-gerakannya.
Lebih lanjut menurut laporan petugas HAM PBB ini, Muslim Rohingya telah menderita eksekusi dan penyiksaan secara serentak dan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, jelas laporan Yanghee Lee pada bulan Juni lalu.
Dalam konteks yang sama, Zeid Ra’ad Al Hussein, Komisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia, mengatakan dalam sebuah laporan bahwa Muslim Rohingya telah dikeluarkan dari sejumlah profesi mereka dan anehnya khusus bagi Muslim Rohingya diperlukan dokumen khusus untuk akses kesehatan terhadap layanan Rumah Sakit, yang mengakibatkan penundaan tindakan Dokter dan kematian bayi serta ibu mereka saat melahirkan.
Ini adalah pertama kalinya bagi omisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Zeid Ra’ad Al-Hussein mengatakan bahwa pelanggaran pemerintah Myanmar ini bisa menambahkan daftar kejahatan mereka terhadap kemanusiaan.
PBB: Pelanggaran Terhadap Muslim Rohingya Merupakan Kejahatan Kemanusiaan
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, UN High Commissioner for Human Rights, Zeid Ra’ad Al Hussein mendesak pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri “diskriminasi sistemik” dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap minoritas, khususnya umat Islam Rohingya di negara bagian Rakhine, demikian pernyataan perwakilan PBB itu di Jenewa, Swiss, dilansir oleh PBB News Center.
Sikap PBB ini datang dalam sebuah laporan baru yang dirilis tentang situasi minoritas di Myanmar, yang sebelumnya diminta oleh Dewan HAM PBB pada bulan Juli 2015.
Laporan ini mendokumentasikan berbagai pelanggaran HAM, termasuk perampasan sewenang-wenang kebangsaan rohingya, pembatasan pada kebebasan bergerak, ancaman terhadap kehidupan dan keamanan, penolakan hak kesehatan dan pendidikan, pemberlakuan kerja paksa, kekerasan seksual, dan keterbatasan hak-hak politik.
Laporan PBB ini juga mencatat bahwa bagi mereka khususnya Muslim Rohingya secara resmi didakwa, dan jaminan untuk mendapatkan sistem peradilan yang adil seringkali tak terwujud.
Laporan ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa pola pelanggaran terhadap Muslim Rohingya ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di antara temuan laporan ini adalah fakta bahwa di wilayah utara negara bagian Rakhine, peristiwa ‘penangkapan sewenang-wenang dan penahanan terhadap Muslim Rohingya tetap meluas.
Penangkapan itu sering dilakukan tanpa alasan yang jelas, tanpa adanya proses formal ataupun tuntutan, hingga pembebasan atas mereka dapat dijamin dengan pembayaran suap. Sementara itu, bagi mereka yang secara resmi didakwa, jaminan mendapatkan peradilan yang adil seringkali tak terwujud. ”
Laporan terbaru PBB ini menemukan bahwa negara bagian Rakhine memiliki salah satu tingkat melek huruf terendah di negeri ini, dan bahwa sekitar 30.000 anak-anak Muslim masih hidup menderita dan dalam keterbatasan di kamp-kamp pengungsian. Terkait pendidikan mereka, anak-anak Muslim itu hanya bergantung pada ruang-ruang belajar sementara yang difasilitasi oleh organisasi-organisasi kemanusiaan.
Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan bahwa pemerintah baru Myanmar telah mewarisi situasi, di mana hukum dan kebijakan berada di tempat yang dirancang untuk menolak hak-hak dasar kepada minoritas [Muslim Rohingya] dan di mana impunitas [pembebasan hukum] atas pelanggaran-pelanggaran serius mendorong kekerasan lebih lanjut terhadap mereka.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah baru Myanmar menjadikan isu ini sebagai prioritas untuk menghentikan pelanggaran berkelanjutan dan mencegah penderitaan minoritas Rohingya lebih lanjut terjadi.
“Kami siap mendukung pemerintah Myanmar dalam memastikan transisi yang sukses untuk masyarakat berdasarkan pada aturan hukum yang tegas dan perlindungan hak asasi manusia untuk semua,” kata Ra’ad Al Hussein.
Laporan PBB itu menyerukan penyelidikan menyeluruh ke dalam situasi kelompok minoritas di Myanmar, dan penyelidikan independen terhadap semua dugaan pelanggaran hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan, hal ini termasuk yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Myanmar. [IZ]