JAKARTA, (Panjimas.com) – Intelektual Muslim Adian Husaini mengungkapkan bahwa betapa sulitnya tantangan yang dihadapi para pengajar baik dalam pendidikan umum maupun pendidikan berasrama. Sebab, belum adanya kejelasan yang pasti dalam hukum positif Indonesia atas perilaku atau perbuatan menyimpang kaum LGBT yang sampai saat ini semakin masif untuk melegalkan kawin sejenis.
Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nonor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) [Pasal 284 ayat (1) sampai dengan ayat (5)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sidang judicial review yang dipimpin langsung oleh Hakim Ketua Arief Hidayat dan beranggotakan tujuh orang di antaranya: Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Anwar Usman, Wahyuddin Adams, Aswanto, dan Suhartoyo tersebut juga dihadiri oleh keenam Pemohon, yaitu: Rita Hendrawati Soebagio, Dinar Dewi Karnia, Sita Resmi Sulistiawati, Nurul Hidayati, Saptia Aziz, dan Tiar Anwar Baktiar.
Sidang pada hari Senin (1/8) masih dalam agenda mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Saksi ahli yang dihadirkan ke ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi ialah Intelektual Muslim sekalius Pendiri Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Adian Husaini, Pakar Hukum Universitas Indonesia Neng Djubaedah, dan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) Dewi Inong Iriana.
Dalam pemaparannya di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Adian Husaini menjelaskan tentang tantangan yang dihadapi di dunia pendidikan berkaitan dengan pasal yang diajukan oleh Pemohon untuk di judicial riview, yaitu Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia (KUHP).
Adian Husaini melatarbelakanginya dengan tujuan undang-undang pendidikan nasional maupun pendidikan tinggi bahwa bangsa Indonesia telah sepakat untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan seterusnya.
“Tujuan ini begitu mulia, sayangnya bagi kami yang di bidang pendidikan ini merasakan betapa beratnya menghadapi tantangan-tantangan moral, baik melalui media, bahkan juga di lingkungan-lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri,” ujar Pendiri INSIST Adian Husaini di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (1/8/2016).
Ia juga menyoroti masalah Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT), khususnya tentang perkembangan LGBT. Dalam dunia kawin sejenis ini, menurutnya, yang berlaku bukan saja masifnya perkembangan orang-orang yang melakukan praktek kawin sejenis, tapi ternyata perkembangan praktek homoseksual khususnya di sekolah berasrama itu luar biasa.
Lebih lanjut, kata Adian Husaini, yang kita hadapi LGBT ini bukan hanya maraknya praktek homoseksual tapi yang merisaukan bagi kami sekarang ini ada usaha yang sangat sistematis dan masif unuk melegalkan praktek kawin sejenis ini.
Untuk lebih meyakinkan Majelis Hakim, dalam pemaparannya, Adian Husaini juga memberikan berbagai contoh di Negara Amerika dan Malaysia tentang betapa bahayanya LGBT atau khususnya homoseksual.
“Ini adalah kasus yang terjadi di Amerika pada tahun 2003 saya sudah menulis artikel tentang kasus yang terjadi di Amerika. Seorang pendeta, seorang pastur tepatnya. Dia dari Anglikan, 14 tahun berumah tangga sebagai suami istri, tahun 2003 ada pemilihan uskup (kepala Gereja Anglikan di negara bagian) kemudian voting dia menang,” ungkapnya.
Itulah waktu di mana media massa Internasional menyebutkan peristiwa yang luar biasa karena selama 2000 tahun baru terjadi seorang homo bisa memimpin gereja untuk tingkat negara bagian, dan ini menjadi issue, tuturnya. Perkembangan ini saya lihat cepat sekali, tahun 2003 dan tahun 2016 kemudian sudah resmi perkawinan sejenis ini legal.
“Inilah yang kami hadapi di dunia pendidikan,” imbuhnya.
Sebelum mengakiri pemarannya, Adian Husaini juga menceritakan kisah Nabi Luth dan kaumnya yang Allah Ta’ala adzab ketika melakukan perilaku menyimpang seperti Homoseksual dan Lesbi.
“Dulu di masa Nabi Luth ‘alaihissalam, Nabi Luth dan kaumnya diejek mereka sebagai orang yang sok suci, sok moralis, (hal) itu yang sekarang di terima oleh para pemohon ini. Mereka juga kadang-kadang menerima cemoohan. Jadi, saya hanya ikut berharap ada sesuatu. Paling tidak dalam hukum ini ada kejelasan. Saya dengar juga aparat penegak hukum di lapangan mereka juga susah kalo tidak ada dasar hukumnya,” ungkapnya.
Intektual Muslim Adian Husaini berharap agar ada kejelasan di dalam hukum tentang LGBT adalah perbuatan atau perilaku yang tidak baik, sehingga orang tua, para pengajar dan masyarakat mudah untuk mendidik anak-anak, saudara dan masyarakat lainnya untuk menjauhi perilaku atau perbuatan menyimpang tersebut.
“Ya mudah-mudahan negeri kita ini ada kejelasan, saya berharap ada kejelasan bahwa paling tidak ini tidak baik, ini jelas-jelas di dalam hukum keliru. Jadi, saya sangat mendukung kalo Pasal 292 dinyatakan bukan hanya dengan anak-anak tapi praktek sesama jenis itu pun adalah meskipun bukan sama-sama dewasa tetapi disebut kejahatan.” pungkasnya. [DP]