JAKARTA (Panjimas.com) – Advokat dari Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI), Aziz Yanuar mengungkap kejanggalan dalam penanganan dugaan kasus terorisme terhadap Hasan Al Rasyid.
Seperti diberitakan sebelumnya, Hasan Al Rasyid didampingi sejumlah anggota FPI, mendatangi Mapolresta Surakarta. Hal itu dilakukan untuk melakukan klarifikasi kepada pihak aparat kepolisian bahwa dirinya tak bersalah, namun mengapa dirinya sering dikuntit orang tak dikenal. (Baca: Minta Perlindungan, Anggota FPI Datangi Polres Solo)
Namun, setelah melapor, Hasan malah ditangkap. Kemudian, pihak keluarga dihubungi seseorang pengacara bernama Muslim yang mengaku berasal dari Badan Hukum Front (BHF), sebuah lembaga hukum semi otonom yang berfiliasi kepada Front Pembela Islam (FPI).
“Satu hari setelah penangkapan Ustadz Hasan, pihak keluarga mengaku dihubungi oleh seseorang bernama Muslim yang mengaku dari Badan Hukum Front (BHF) atau LBH dari Front Pembela Islam (FPI),” kata Aziz Yanuar kepada Panjimas.com, Rabu (27/7/2016).
Aziz pun mengecek kebenaran berita tersebut. Namun, setelah melakukan penelusuran, ternyata pihak BHF menegaskan belum mendapatkan kuasa dari pihak keluarga untuk menangani kasus Hasan dan tak ada anggota BHF yang bernama Muslim.
“Setelah melakukan penelusuran ke BHF yang resmi dengan Ketuanya Sugito SH, kemudian saya juga menghubungi langsung Sekum FPI, H Munarman SH, ternyata tidak pernah ada anggota BHF yang bernama Muslim,” ujarnya.
Pihak keluarga pun tercengang mendapatkan keterangan dari PUSHAMI, bahwa pihak BHF belum mendapatkan kuasa terkait penanganan kasus Hasan.
“Pihak keluarga juga bertanya-tanya, lantas siapa Muslim yang mengaku dari BHF? Namun, mereka mengaku sudah terlanjur hingga akhirnya terpaksa memberikan surat kuasa kepada orang tersebut, sebagai kuasa hukum Ustadz Hasan,” imbuhnya.
Menurut PUSHAMI, modus seperti ini merupakan cara-cara licik. Pasalnya, dulu sudah ada Tim Pengacara Muslim (TPM) palsu yang digunakan Densus 88 untuk menangani para terduga kasus terorisme, kini ada lagi BHF palsu.
“Ini kebiasaan buruk yang dilakukan aparat dengan menggunakan pengacara yang menggunakan lembaga tandingan palsu. Cara-cara ini licik dan ini kurang elegan, cenderung menipu dan membohongi masyarakat. Terutama mereka yang diduga terlibat kasus terorisme,” tandasnya. [AW]