JAKARTA (Panjimas.com) – Masuknya nama mantan panglima ABRI, Jenderal (Purn) Wiranto sebagai menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan (menko polhukam) di jajaran Kabinet Kerja menuai protes.
Kalangan aktivis 1998 menilai, keputusan Presiden Joko Widodo menunjukkan, pascareformasi Indonesia justru kian tak lepas dari pengaruh rezim Orde Baru.
Koordinator Kontras Haris Azhar menegaskan, ada rangkap jabatan Menko Polhukam. Sebab, hingga kini mantan ajudan presiden kedua RI Soeharto itu masih menjabat sebagai ketua umum Partai Politik Hati Nurani Rakyat (Hanura).
“Pernyataan Presiden Joko Widodo di tahun 2014 yang menyatakan bahwa figur ketua umum partai politik tidak boleh merangkap menjadi menteri, seharusnya adalah filter sederhana yang tidak bisa menempatkan Wiranto,” kata Haris Azhar, Rabu (27/7).
Apalagi, lanjut dia, sosok Wiranto dinilai bertanggung jawab atas sejumlah praktik pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM), sebagaimana disebutkan dalam sejumlah laporan Komnas HAM. Misalnya, Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I & II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, Biak Berdarah, serta Peristiwa penyerangan kantor PDI pada 27 Juli (Kudatuli).
Haris memaparkan, nama Wiranto juga disebutkan dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Disebutkan, “Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.”
Kontras menilai, perombakan kabinet jilid dua ini tidak akan memenuhi harapan publik, khususnya terkait penegakan hukum. “Soliditas tidak akan terbangun di atas figur-figur rapuh yang seiring waktu harus mempertanggungjawabkan tindakannya ketika ia masih menjabat posisi-posisi penting di republik. Konsep retailer cenderung menguat,” tukas dia. [AW/ROL]