PARIS, (Panjimas.com) – Parlemen Prancis telah menyetujui perpanjangan selama enam bulan terkait status pemerintahan darurat pada hari Rabu (20/07/2016), setelah serangan truk di Nice pekan lalu yang merupakan serangan ketiga paling mematikan di Prancis dalam 18 bulan terakhir, dilansir Reuters.
Pemerintahan Sosialis Presiden Francois Hollande, telah dituduh oleh lawan-lawan politiknya, bahwa kabinetnya hanya melakukan sedikit usaha untuk mencegah serangan yang menewaskan 84 jiwa itu, Hollande juga berjanji untuk meningkatkan intensitas serangan militer Prancis terhadap kelompok Islamic State (IS) di Irak maupun Suriah.
Satu tahun menjelang pemilu Prancis, Presiden Hollande berada di bawah tekanan kuat dari lawan-lawan politiknya yang menuduh pemerintahanya dan pihak Kepolisian telah gagal atas tragedi itu. Seorang pria berkebangsaan Tunisia mampu menyetir sebuah truk dengan berat 19 ton di sepanjang daerah promenade, ia menabrakkan truk itu ke arah kerumunan orang dalam perayaan Bastille Day, sebelum kemudian ia ditembak mati oleh petugas polisi.
Perpanjangan status darurat negara selama 6 bulan akan berimbas pada kekuasaan bagi pemerintah Prancis untuk melakukan operasi pencarian dan penangkapan yang luar biasa. Keputusan perpanjangan status darurat negara ini telah disetujui oleh 489 anggota Parlemen pada waktu sebelum fajar di Majelis Nasional Perancis, Majelis Rendah Parlemen.
Christian Estrosi, Kepala Pemerintah Daerah Nice, mengatakan kebijakan perpanjangan itu lebih ringan dari yang telah dijanjikan oleh Perdana Menteri Manuel Valls.
Hollande Berada Dalam Tekanan
Status keadaaan darurat telah diterapkan sejak serangan Paris November lalu di mana sekelompok gerilyawan menewaskan 130 jiwa. Sementara itu 17 orang lainnya tewas pada bulan Januari 2015 dalam serangan yang dimulai dengan penembakan wartawan yang bekerja untuk media anti-Islam Charlie Hebdo, yang sebelumnya telah seringkali menerbitkan kartun-kartun yang mengejek Islam.
Menanggapi tuntutan dari kubu oposisi sayap kanan, Les Republicains, status pemerintahan darurat akan diperpanjang selama enam bulan, sampai akhir Januari tahun 2017, bukan selama tiga bulan yang sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Hollande.
Rezim pemerintahan darurat, sebelumnya akan melalui pemeriksaan dari Majelis Tinggi Senat Prancis pada Rabu sebelum kemudian ditetapkan menjadi hukum. Kebijakan ini memungkinkan pihak Kepolisian untuk melakukan operasi penggrebekan rumah-rumah dan penangkapan warga tanpa persetujuan terlebih dahulu dari hakim. Hal ini juga memungkinkan Kepolisian untuk melakukan penyadapan komputer dan telepon, serta saluran komunikasi secara lebih leluasa.
Serangan Nice ini dapat menghancurkan peluang Presiden petahana Hollande untuk terpilih kembali tahun depan, karena Hollande juga telah dinilai gagal untuk mengurangi angka pengangguran di Prancis.
Tampak membela pemerintahannya, Menteri Dalam Negeri, Bernard Cazeneuve mengatakan kepada surat kabar Le Monde dalam sebuah wawancara bahwa ia tidak berniat mengundurkan diri dan bahkan dengan semua tindakan yang telah diambil, “tidak pernah akan ada nol risiko.”
Sementara kelompok Islamic State (IS) telah mengaku bertanggung jawab atas serangan di Nice, hingga kini tidak ada bukti kuat yang muncul bahwa penyerang berusia 31 tahun, Bouhlel, memiliki kontak langsung dengan kelompok IS.
Bouhlel dalam catatan Kepolisian diketahui pernah melakukan kejahatan kecil tapi dirinya tidak ada dalam daftar diduga tersangka militan garis keras. Bouhlel memiliki punya satu daftar kriminal karena aksi kemarahannya di jalan, ia kemudian telah dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan lalu akibat telah melemparkan palet kayu ke supir mobil lain di jalanan.
Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Perancsi berada di Amerika Serikat pada hari Rabu (20/07) untuk melakukan pembicaraan dengan anggota lain dari koalisi pimpinan AS memerangi IS, dengan tujuan meningkatkan intensitas serangan terhadap IS.
Sementara itu di dalam negeri, Menteri Ekonomi Emmanuel Macron mengatakan bisnis pariwisata di daerah Nice terkena imbas dan telah mengalami penurunan sekitar 20-30 persen setelah serangan itu, Macron juga menyoroti risiko konfrontasi untuk pemulihan di negara yang termasuk dalam salah satu ekonomi top dunia. [IZ]