JAKARTA, (Panjimas.com) – Percobaan kudeta oleh salah satu faksi militer terjadi di Turki, Jumat (15/7) petang waktu Turki atau Sabtu (16/7) dini hari waktu Indonesia. Kudeta bukanlah hal baru dalam sejarah Turki. Sebelumnya Angkatan Bersenjata Turki pernah melakukan kudeta pada tahun 1960, 1971, dan 1980. Pernyataan pelaku kudeta yang mengklaim mewakili Angkatan Bersenjata dan menyatakan pembentukan Dewan Perdamaian menjadi awal dari percobaan kudeta yang hanya berlangsung beberapa jam sebelum akhirnya digagalkan.
Erdogan yang sedang berada di luar ibukota saat percobaan kudeta terjadi menyerukan rakyat untuk turun ke jalan. Rakyat Turki mempertahankan perdamaian negaranya dengan tindakan masif menghadang pelaku kudeta. Banyak spekulasi yang beredar, namun belum jelas faksi mana yang menjadi pelaku kudeta berikut latar belakangnya. Sempat ada dugaan bahwa kudeta ini merupakan respon atas kebijakan Erdogan mengganti 40 kepala keamanan di Turki. Namun pada kenyataannya, pasukan militer sendiri lebih banyak yang pro pemerintah. Pasukan militer sendiri berperan penting dengan merebut kembali tempat-tempat penting di Turki yang sebelumnya sempat diduduki pelaku kudeta.
Perwakilan dari berbagai negara menyatakan keprihatinannya dengan apa yang terjadi di Turki. Meskipun gagal, percobaan kudeta ini telah memakan korban. Sedikitnya 90 orang meninggal dan lebih dari 1000 orang terluka dalam beberapa jam tersebut. Menanggapi kejadian tersebut, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) melalui Bidang Hubungan Luar Negeri (HLN) menyatakan penolakan terhadap kudeta militer mana pun karena bertentangan dengan proses demokrasi. Ketua Departemen Kajian Internasional Bidang HLN PP KAMMI, Hidayah Sunar, menyampaikan bahwa KAMMI menentang dan menolak segala bentuk militerisme dalam proses transisi demokrasi. KAMMI juga mengajak seluruh elemen masyarakat pro demokrasi untuk mengutuk kudeta militer dan bersama-sama mengawal tegaknya demokrasi.
Ketua Umum PP KAMMI, Kartika Nur Rokhman, menegaskan bahwa peristiwa Turki setidaknya menjadi pembelajaran pada semua pelaku demokrasi di seluruh dunia. Cara-cara koersif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa ini hanya akan selalu menemui jalan buntu dan respon balik dari rakyat. Pada era demokrasi ini, TNI sebagai angkatan bersenjata di Republik Indonesia dapat menjadi referensi yang bagus. TNI sukses mengawal demokrasi tanpa intervensi politik dan kudeta di negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini. [RN]