JAKARTA, (Panjimas.com) – Komnas HAM membentuk Tim Evaluasi Penanganan Terorisme. Tim tersebut terdiri dari berbagai tokoh di Indonesia. Salah satu hal yang menjadi sorotan Komnas HAM terkait penanganan terorisme adalah kasus bom Mapolresta Surakarta. Dalam kesempatan tersebut, Komnas HAM memberikan keterangan persnya terkait kejanggalan bom di Mapolresta Surakarta yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Berikut penjelasan dari Komnas HAM, di Kantor PP Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya No.62 Jakarta 10340, pada Jumat (15/7/2016).
Ketenangan di negeri ini (kembali) terusik ketika di penghujung Ramadhan 1437 H lalu, tepatnya 5 Juli 2016, sebuah bom meledak di Mapolresta Solo. Bom itu berasal dari seoarang tamu tak dikenal yang masuk ke kantor Polresta Solo menggunakan sepeda motor. Seorang provos yang berjaga di pintu depan kantor Mapolresta Solo mengalami luka akibat serpihan bom. Sementara pelaku yang belakangan diketahui bernama Nur Rohman, tewas ditempat dengan kondisi sangat mengenaskan.
Beberapa saat setelah kejadian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) komjen Tito Karnavian menyebut bahwa Nur Rohman, sudah menjadi buronan sejak Desember 2000. Tak hanya itu, yang bersangkutan juga dinyatakan terkait dengan jaringan ISIS.
Atas kejadian tersebut, Tim Evaluasi Penanganan Terorisme yang terdiri dari M. Busyro Muqoddas, Bambang Widodo Umar, KH Salahuddin Wahid, Trisno Raharjo, Ray Rangkuti, Dahnil Azhar Simanjutak, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Manager Nasution, Franz Magnis Suzeno, Magdalena Sitorus, dan Todung Mulya Lubis, menyampaikan keprihatinan dan simpati yang mendalam kepada aparat yang terluka akibat kejadian tersebut serta memberikan sejumlah catatan sebagai berikut.
Pertama, amanat Undang-undang HAM No 39/1999 dan sejumlah undang-undang terkait lainnya, serta panduan penanganan Terorisme yang dipublikasikan oleh Dewan HAM PBB (Fact Sheet No.32) menekankan bahwa penanganan Terorisme haruslah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Kendatipun seseorang telah diduga teroris, namun ia tetap harus : (1) diperlakukan sebagai manusia dengan menghargai segala kehormatan dan martabatnya, (2) diberi kesempatan untuk membela diri dan didampingi pengacara, (3) terbebas dari intimidasi, retaliasi dan kekeasan dalam bentuk apapun, (4) kerhasiaannya terlindungi, (5) mendapat perawatan, bantuan psikologis dan sosial jika diperlukan, dst. Bahkan dalam situasi darurat (emergency) penanganan terorisme hendaklah dilakukan dengan memperhatikan asas proporsionalitas, dan seluruh penanganannya dipantau dan diaudit oleh satu lembaga yang independen.
Kedua, di berbagai media terlihat inkonsistensi penjelasan Kepala BNPT Tito Karnavian yang menyatakan bahwa jaringan teror bom bunuh diri di Mapolresta Solo tidak ada hubungannya dengan serangan bom Thamrin pada Januari lalu (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20160706171328-12-143348/tito-tegaskan-bom-solo/). Akan tetapi sehari sebelumnya di berbagai media lain muncul ulasan mengenai keterkaitannya dengan bom Thamrin karena Tito mengemukakan bahwa bom bunuh diri di Mapolresta Solo memiliki kaitan dengan peristiwa penyerangan dan bom Thamrin. Dua aksi itu dilakukan oleh dua jaringan yang terkait (https://m.detik.com/news/berita/3248594/penjelasan-tito).
Ketiga, jika sosok Nur Rohman, pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo itu sudah diidentifikasi sebagai buronan aparat sejak 2000, dan kemudian teridentifikasi pula kaitannya dengan jaringan ISIS, berarti yang besangkutan baru berusia 14 tahun, dengan kelahiranny 1 Nopember 1985. Apabila Nur Rohman masuk sekolah usia 7 tahun berarti ia sudah menjadi teroris ketika duduk dikelas 6 SD atau kelas 1 SMP dan ia dengan mudah dapat ditangkap dengan mendatangi sekolahnya. Perlu disampaikan bahwa jaringan ISIS baru dinyatakan lahir pada tahun 2013.
Dalam psikologi perkembangan diketahui bahwa kemampuan anak untuk menghubungkan satu atau dua fenomena dengan fenomena lain baru mulai terbentuk di usia kelas 3 SD, misalnya kaitan awan dengan hujan, perjuanggan Hatta dengan Kemerdekaan, dsb. Sementara pada berbagai literatur ilmiah diketahui bahwa anak usia 14 tahun sudah memiliki kemampuan berfikir, bernalar dan berargumentasi, dengan lebih berfokus pada diri sendiri dan situasi kekinian yang dialaminya. Akan tetapi gelora untuk berkorban pada idealismenya belum tebentuk pada usia ini. Semangat seperti itu biasanya mulai muncul pada jenjang pendidikan tinggi.
Demikian pula secara sosiologis, sebagai penjual bakso keliling dengan tingkat pendidikan dan pergaulan yang amat terbatas, Nur Rohman tiba-tiba menjadi bagian dari jaringan ISIS di tanah air. Kondisi ini perlu didalami lebih lanjut apakah orang-orang seperti ini menjadi target prioritas ISIS dalam meluaskan jaringannya di Indonesia.
Oleh karenanya, klarifikasi dari pihak terkait atas berbagai inkonsistensi atas status Nur Rohman sebagai buronan di usia kelas 6 SD atau kelas 1 SMP diperlukan agar masyarakat memperoleh informasi yang akurat dalam setiap langkah penanganan terorisme di Indonesia. Inkonsistensi lain terkait dengan penjelasan keterlibatan Nur Rohman pada kasus Thamrin yang berubah-ubah sangat cepat. Demikian pula kaitan antara latar belakangnya sebagai penjual bakso dan target prioritas ISIS dalam memperluas jaringannya di Indonesia.
Konsistensi dan akurasi informasi amat diperlukan masyarakat luas agar penanganan kasus terorisme tetap menghormati due process of law dan terbebas dari kesan penanganan yang menghalalkan segala cara, dan juga terbebas dari kesan pencarian dan pemanfaatan momentum untuk mempercepat revisi Undang-undang Terorisme.
Semoga penanganan terorisme di tanah air, tidak hanya menjadi tanggungjawab satu atau dua institusi, tetapi menjadi tanggungjawab bersama antara aparat, masyarakat dan organisasi sosial melalui penegakkan supremasi hukum dan pemajuan serta perlindungan hak asasi manusia.
Demikian keterangan pers ini dibuat dalam rangka mendorong upaya bersama menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. [SY]