JAKARTA, (Panjimas.com) – Akhirnya setelah melalui berbagai tahapan, Tito Karnavian resmi dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti, di Istana Negara (13/7). Beragam harapan pun digantungkan kepada lulusan Akpol terbaik angkatan 1987 yang juga mantan Kapolda Metro Jaya ini. Selain mengharapkan agar Polri lebih profesional dalam melayani masyarakat dan menegakkan hukum, Polri juga dituntut mempunyai terobosan untuk menangani berbagai kejahatan luar biasa mulai dari narkoba, korupsi, terorisme, dan kekerasan seksual terhadap anak.
“Pak Tito harus segera menindaklanjuti amanat Presiden Jokowi yang sudah memasukkan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Artinya, beliau harus punya terobosan baru dalam menangani kekerasan seksual terhadap anak. Karena yang namanya kejahatan luar biasa, penanganannya harus luar biasa juga,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Rabu, (13/7).
Menurut Fahira, yang salah satu lingkup tugasnya bidang perlindungan anak, semua insan Polri harus diberi pemahaman bahwa saat ini, penanganan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak sama pentingnya dengan penanganan kasus-kasus narkoba, korupsi, dan terorisme. Oleh karena itu, semua sumber daya yang ada di tubuh Polri, termasuk anggaran, harus dimaksimalkan.
“Pintu awal penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak kan ada di kepolisian, makanya peran Polri sangat penting. Pemahaman semua insan Polri bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak harus ditangani secara serius dan dilakukan secara luar biasa, menjadi mutlak. Dengan pengalaman Pak Tito menangani kejahatan terorisme, saya optimis, di bawah kepemimpinan beliau, Polri akan punya terobosan luar biasa dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak,” tukas Senator Jakarta ini.
Selain itu, lanjut Fahira, Polri menjadi institusi penegak hukum terdepan dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah ada di DPR. Artinya, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak, Polri harus mampu memaksimalkan pemberatan dan penambahan hukuman yang ada di dalam Perppu ini, mulai dari hukuman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, hukuman penjara seumur hidup, hukuman mati, dan penambahan pidana seperti kebiri kimia, sebagai dasar hukum untuk menjerat para predator-predator anak.
“Polri dan tentunya Kejaksaan harus mendesain agar tidak ada lagi ruang bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang biasa-biasa saja terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Apalagi, jika kekerasan seksual dilakukan secara sadis, biadab, berulang-ulang dan mengakibatkan kematian. Bagi saya, ini salah satu parameter keberhasilan Polri nanti dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak, selain pencegahan tentunya,” tukas Fahira yang juga aktivis perlindungan anak ini.
Fahira juga mengungkapkan harapannya agar Polri ke depan menjadi leading dalam perlindungan anak Indonesia, tentunya dengan menjalin sinergi dengan Kementerian/Lembaga terkait, Kejaksaan, dan juga BIN.
“Ke depan penanganan kekerasan seksual terhadap anak harus menempatkan korban sebagai subyek dan Polri punya mekanisme pemulihan yang jelas bagi korban dan keluarganya, dan mengutamakan hak-hak korban. Saya sangat berharap Polri mampu memberi energi baru bagi bangsa ini untuk melawan bersama segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak,” tutup Fahira. [RN]