JAKARTA (Panjimas.com) – Penanggulan terorisme dinilai belum maksimal lantaran Undang-Undang Terorisme tidak memberikan kewenangan kepada Datasemen Khusus 88 untuk menangkap terduga teroris.
Ketua Umum DPP Generasi Baru Persatuan Indonesia (GB-Perindo), Ferdinand Montororing, mengatakan peristiwa bom akhir-akhir ini karena Densus 88 hanya bisa membuntuti.
“Kan diikat kakinya. Tidak ada actus reus, tidak ada mens rea. Jadi kalau belum ada tindakan yang bisa dilakukan penangkapan, alat bukti belum ada, bagaimana mau nangkap,” kata Ferdinand di Jakarta, Jumat (9/7/2016).
Menurut Ferdinand, Indonesia perlu meminjam sistem yang diterapan Malaysia dan Singapura yang memberlakukan internal security act (ISA).
Kata dia, prinsip tersebut harus dimasukkan di dalam revisi Undang-Undang Terorisme agar disahkan di DPR RI.
Dalam revisi undang-undang tersebut, Ferdinand mengatakan kepolisian harus diberikan porsi yang lebih besar untuk melakukan penindakan walau belum ada kecukupuan alat bukti (actus reus dan mens rea).
“Misalnya menangkap orang diberi waktu cukup. Nggak harus menunggu alat bukti. Ada gejala amankan (tangkap),” kata dia.
Selain itu, Ferdiand menambahkan TNI perlu dimasukkam dalam pemberatasan terorisme.
Prinsipnya, kata dia, TNI hanya di bawah kendali operasi (BKO) dan Polri tetap memimpin.
“Bila perlu libatkan TNI. Polri kan belum cukup, anggotanya 400 ribu-an. Nusantara ini luas,” tukas Ferdinand. [AW/Tribun]