YANGON, (Paanjimas.com) – Sekelompok massa ektrimis Buddha telah membakar sebuah Masjid di negara bagian Kachin, Myanmar utara, aksi serangan ini merupakan serangan kedua dalam kurun waktu seminggu terakhir di negara dengan mayoritas pemeluk Buddha itu.
Media massa milik pemerintah Myanmar, Global New Light of Myanmar melaporkan hari Sabtu (02/07/2016) bahwa pasukan keamanan di Desa Hpakant di wilayah negara bagian Kachin tidak dapat menghentikan para penyerang, yakni massa ektrimis Buddha.
Dilaporkan pula bahwa aksi pembakaran Masjid terjadi pada Jumat (01/07/2016) setelah pihak berwenang gagal memenuhi tenggat waktu 30 juni ultimatum para ektrimis Buddha yang memaksa untuk meruntuhkan struktur Masjid dengan dalih sebagai akses jalan bagi sebuah jembatan.
Sayangnya, menurut laporan Global New Light of Myanmar, pihak berwenang tidak menindak para pembakar Masjid, “Tidak ada penangkapan yang dilakukan”, papar Surat Kabar itu dalam laporannya.
Dalam insiden terpisah di wilayah Myanmar lainnya, tindak kekerasan terhadap Muslim meletus pekan lalu ketika ratusan ekstrimis Budha dengan penuh amarah mengamuk di sebuah Desa Muslim di provinsi Bago, menyusul perdebatan di lingkungan itu terkait rencana pembangunan sebuah sekolah Islam disana. Ratusan ektrimis Buddha yang kalut dan marah pada 23 Juni menghancurkan sebuah Masjid di provinsi Bago, yang terletak sekitar 60 km wilayah timur laut dari ibukota Yangon.
Peristiwa demi peristiwa kekerasan terhadap Muslim di Myanmar secara sporadis terjadi di negara yang didominasi pemeluk Buddha itu sejak kerusuhan meletus tahun 2012 yang memaksa lebih dari 100.000 minoritas Muslim Rohingya mengungsi ke wilayah barat di negara bagian Rakhine.
Seorang aktivis LSM lokal yang mengunjungi kota lokasi kejadian Masjid yang dibakar pada hari Sabtu (02/07/2016) mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa pasukan keamanan telah dikerahkan untuk menjaga ketertiban dan memastikan situasi kembali kondusif.
“Pihak Kepolisian kini mengendalikan area tersebut dan saat ini situasi stabil,” kata Dashi Naw Lawn, dari lembaga Kachin Development Network Foundation.
Ketegangan antara Muslim-Buddha juga telah meningkat signifikan di provinsi Rakhine barat, akibat insiden kerusuhan mematikan pada tahun 2012 yang hampir sepenuhnya telah dilandasi motif agama.
Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 orang, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.
Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Akhir Juni lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, UN High Commissioner for Human Rights, Zeid Ra’ad Al Hussein mendesak pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri “diskriminasi sistemik” dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap minoritas, khususnya umat Islam Rohingya di negara bagian Rakhine, demikian pernyataan perwakilan PBB itu di Jenewa, Swiss, dilansir oleh PBB News Center.
Sikap PBB ini dibarengi dengan penerbitan sebuah laporan baru yang dirilis tentang situasi minoritas di Myanmar, yang sebelumnya diminta oleh Dewan HAM PBB pada bulan Juli 2015.
Laporan ini mendokumentasikan berbagai pelanggaran HAM, termasuk perampasan sewenang-wenang kebangsaan rohingya, pembatasan pada kebebasan bergerak, ancaman terhadap kehidupan dan keamanan, penolakan hak kesehatan dan pendidikan, pemberlakuan kerja paksa, kekerasan seksual, dan keterbatasan hak-hak politik.
Laporan PBB ini juga mencatat bahwa bagi mereka khususnya Muslim Rohingya secara resmi didakwa, dan jaminan untuk mendapatkan sistem peradilan yang adil seringkali tak terwujud.
Laporan ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa pola pelanggaran terhadap Muslim Rohingya ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di antara temuan laporan ini adalah fakta bahwa di wilayah utara negara bagian Rakhine, peristiwa ‘penangkapan sewenang-wenang dan penahanan terhadap Muslim Rohingya tetap meluas.
Penangkapan itu sering dilakukan tanpa alasan yang jelas, tanpa adanya proses formal ataupun tuntutan, hingga pembebasan atas mereka dapat dijamin dengan pembayaran suap. Sementara itu, bagi mereka yang secara resmi didakwa, jaminan mendapatkan peradilan yang adil seringkali tak terwujud. ”
Laporan terbaru PBB ini menemukan bahwa negara bagian Rakhine memiliki salah satu tingkat melek huruf terendah di negeri ini, dan bahwa sekitar 30.000 anak-anak Muslim masih hidup menderita dan dalam keterbatasan di kamp-kamp pengungsian. Terkait pendidikan mereka, anak-anak Muslim itu hanya bergantung pada ruang-ruang belajar sementara yang difasilitasi oleh organisasi-organisasi kemanusiaan.
Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan bahwa pemerintah baru Myanmar telah mewarisi situasi, di mana hukum dan kebijakan berada di tempat yang dirancang untuk menolak hak-hak dasar kepada minoritas [Muslim Rohingya] dan di mana impunitas [pembebasan hukum] atas pelanggaran-pelanggaran serius mendorong kekerasan lebih lanjut terhadap mereka.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah baru Myanmar menjadikan isu ini sebagai prioritas untuk menghentikan pelanggaran berkelanjutan dan mencegah penderitaan minoritas Rohingya lebih lanjut terjadi.
“Kami siap mendukung pemerintah Myanmar dalam memastikan transisi yang sukses untuk masyarakat berdasarkan pada aturan hukum yang tegas dan perlindungan hak asasi manusia untuk semua,” kata Ra’ad Al Hussein.
Laporan PBB itu menyerukan penyelidikan menyeluruh ke dalam situasi kelompok minoritas di Myanmar, dan penyelidikan independen terhadap semua dugaan pelanggaran hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan, hal ini termasuk yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Myanmar. [IZ]