JAKARTA (Panjimas.com) – Muhammadiyah memprediksi penetapan tanggal satu Syawal 1437 Hijriah antara ormas tersebut dengan pemerintah akan sama, sehingga tidak ada perbedaan hari Lebaran, yaitu 6 Juli 2016.
“Untuk Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab, sejak setahun lalu tanggal 1 Syawal sudah dipastikan jatuh pada 6 Juli 2016. Sementara untuk pemerintah yang menggunakan metode rukyat, kemungkinan besar akan sama karena diperkirakan pada 6 Juli itu, hilal sudah terlihat,” kata Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar, Bachtiar pada Mundzakarah Ramadhan yang gelar Pengurus Muhammadiyah Kota Padang, di Aula Dharma Andalas, Selasa.
Ke depan, menurut Bachtiar, Muhammadiyah mendorong agar ada persamaan persepsi dalam penetapan jadwal Ramadhan dan Lebaran antara sesama umat Muslim di seluruh dunia, agar tidak membingungkan umat.
“Usaha menuju hal itu telah dilakukan dalam Kongres Persatuan Kalender Hijriyah Internasional (International Hijri Taqwim Unity Congres) di Istambul, Turki Selasa (30/5). Pakar astronomi Islam dilibatkan dalam penyusunan kalender tersebut. Diharapkan seluruh umat Islam di dunia, terutama di Indonesia akan menerima kalender ini, agar tidak ada lagi perbedaan yang membingungkan,” katanya.
Ia berharap, tidak ada lagi pihak yang mempertahankan ego untuk membenarkan pandangan sendiri dan menolak keberadaan kalender Hijriyah Internasional, karena 60 negara Islam akan mengakuinya.
Ia mengatakan, kalender itu nanti akan berlaku 100 tahun ke depan untuk menjadi pedoman dalam penentuan hari-hari penting.
Sementara itu, terkait Mundzakarah Ramadhan yang digelar, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Padang, Maigus Nasir mengatakan, Muhammadiyah menyoroti adanya sejumlah pendapat yang berkembang terkait dengan memilih pemimpin. Sebagian golongan mengatakan memilih pemimpin yang tidak seakidah tidak masalah, sebagian malah menegaskan tidak boleh. Agar berkembangnya berbagai pendapat tersebut tidak menjadi pemikiran negatif, Muhammadiyah melakukan Mundzakarah Ramadhan dengan mengundang nara sumber berkompetensi dari Majlis Ulama Indonesia (MUI).
“Kita akan kupas apakah boleh memilih pemimpin yang tidak seakidah. Semua didasarkan Alquran dan Hadist,” katanya. [AW/Antara]