JAKARTA, (Panjimas.com) – Hari ini Kota Jakarta yang juga Ibukota Indonesia menapaki usia ke 489 tahun. Salah satu tantangan terberat yang dihadapi kota seluas sekitar 661,52 km² dan dihuni 10 juta jiwa lebih ini adalah derap pembangunan yang tidak terkendali sehingga berpotensi merusak lingkungan hidup. Oleh karena itu, siapa saja yang memimpin Jakarta harus punya visi lingkungan hidup dan terobosan menyelamatkan Jakarta dari ancaman bencana ekologis.
“Punya integritas, jiwa melayani, jujur, dan antikorupsi itu sudah pasti dan tidak bisa ditawar. Namun, untuk konteks Jakarta ke depan, siapa saja pemimpinnya harus punya terobosan. Salah satunya mengedepankan kajian dan dampak lingkungan hidup dalam semua kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Karena kalau menomorduakan soal lingkungan, daya dukung lingkungan pasti menurun, dan ini mengancam kehidupan warga Jakarta,” ujar Senator Jakarta, Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (22/6).
Fahira mengungkapkan, kondisi Jakarta di mana 40 persen dari luasannya adalah dataran rendah dan ketinggiannya berada di bawah muka air laut pasang ditambah dilintasi 13 aliran sungai menjadikan kota ini sangat rentan terkena bencana ekologis. Pembangunan yang tidak terkendali dan mengabaikan lingkungan akan terus memperburuk kondisi Jakarta.
“Jadi ke depan, pembangunan bukan hanya soal izin, tetapi kalau mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air, menyusutnya areal terbuka hijau, kerusakan saluran air dan perairan pantai,terjadi eksploitasi air bawah tanah yang mengakibatkan turunnnya permukaan tanah, apalagi berdiri di atas daerah resapan, harus dihentikan. Kenapa daya dukung lingkungan di Jakarta terus menurun? Karena soal dampak lingkungan kita nomorduakan,” ujar Fahira yang juga Wakil Ketua Komite III DPD ini.
Menurut Fahira, ancaman bencana ekologis akibat pembangunan yang tidak terkendali, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Jika di berbagai daerah akibat pertambangan dan berbagai industri, di Jakarta, salah satu penyebab utamanya adalah ekspansi properti yang mengabaikan dampak lingkungan dan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun.
“Jadi apa yang terjadi di Jakarta saat ini, kita semua punya andil, dan sudah saatnya dihentikan. Tidak ada pilihan, pembangunan Jakarta harus bervisi lingkungan. Siapa saja yang memimpin Jakarta nanti, harus menjadikan parameter lingkungan sebagai saringan awal pembangunan dan mewarisi kebijakannya ini kepada penggantinya, sehingga kita tidak lagi saling menyalahkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Fahira, sudah saatnya pembangunan di Jakarta dievaluasi ulang dan dikendalikan. Sebanyak apapun manfaat ekonomi sebuah proyek pembangunan, tetapi mengabaikan lingkungan hidup tidak akan ada gunanya. Pemprov DKI Jakarta harus bisa menahan laju pertumbuhan properti (mall, apartemen, dan sebagainya) dan mengevalusi dampak lingkungan yang disebabkannya. Terlebih pembangunan properti yang memaksa menimbun laut menjadi daratan seperti yang terjadi di Teluk Jakarta.
“Bagi saya, reklamasi Teluk Jakarta, perspektifnya lebih luas, bukan hanya sekedar pelanggaran izin saja, tetapi yang lebih mendasar itu ancaman kerusakan lingkungan hidup akibat reklamasi. Ke depan, hal-hal seperti ini tidak akan terjadi jika visi lingkungan kedepankan,” tutup Fahira. [ES]