JAKARTA, (Panjimas.com) – Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PP dan PA) Yohana Yembise segera menyiapkan berbagai program sosialisasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau sering disebut Perppu Kebiri. Menteri PP dan PA juga diminta membuat kampanye masif dan kreatif anti kekerasan kepada anak untuk menggerakkan seluruh lapisan masyarakat melawan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengatakan, walau Indonesia sudah 14 tahun punya UU Perlindungan Anak, tetapi pemahaman masyarakat terhadap UU ini sangat minim. Bahkan banyak orang tua, tidak tahu sama sekali ada UU Perlindungan Anak. Sehingga tak heran, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun. Bahkan, banyak pelaku kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang-orang terdekatnya. Kondisi ini makin diperparah dengan keraguan masyarakat melapor ke pihak berwenang jika di lingkungannya ditemukan indikasi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak.
“Kita ini sudah punya UU Perlindungan Anak sejak 2002, tetapi sampai saat ini saja, masih banyak masyarakat yang tidak tahu kalau kita punya UU Perlindungan Anak. Banyak orang tua tidak mengerti, kalau mereka melakukan kekerasan kepada anak kandungnya sekalipun, ada ancaman pidananya. Ini semua karena tidak adanya kampanye anti kekerasan anak yang masif dan kreatif,” ujar Fahira Idris, saat Rapat Kerja dengan Menteri PP dan PA di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Rabu, (15/6/2016).
Fahira mengungkapkan, nanti saat Perppu pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan anak disetujui DPR, Kementerian PP dan PA harus sudah siap menyosialisasikan konten-konten penting dari Perppu ini ke masyarakat luas.
“Hampir 10 tahun menggeluti perlindungan anak, saya tidak pernah lihat ada kampanye masif anti kekerasan terhadap anak, sosialisasi masif tentang UU Perlindungan Anak dan Hak Anak. Saya belum pernah melihat ada iklan layanan masyarakat yang menggugah publik untuk melawan bersama kekerasan anak seperti yang banyak dilakukan negara lain,” tukas aktivis perlindungan anak ini.
Selain itu, terbitnya Perppu ini juga harus dimanfaatkan sebagai momentum kampanye anti kekerasan terhadap anak. Dijadikan momentum bagaimana membuat semua lapisan masyarakat memahami bahwa siapa saja yang nekat melakukan kekerasan terhadap anak apalagi seksual, hukuman 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup, dan hukuman mati sudah menanti.
“Tidak hanya itu, para predator anak ini juga akan dikebiri kimia, identitasnya diumumkan, dan dipasangi alat deteksi elektronik untuk memantau aktivitas dan keberadaan mereka. Buat kampanye masif yang membuat siapa saja tidak berani melakukan kekerasan terhadap anak di negeri ini,” tegas Fahira.
Jika alasan anggaran menjadi kendala, Fahira meminta Menteri PP dan PA berkoordinasi dengan Kominfo dan menjalin kerjasama dengan berbagai media massa agar bersedia membantu kementerian, ikut bersama menyosialisasikan UU Perlindungan Anak yang baru dan kampanye masif anti kekerasan terhadap anak.
“Mindset masyarakat yang masih menganggap kekerasan terhadap anak adalah kejahatan biasa harus diubah. Kejahatan terhadap anak sama dengan korupsi, terorisme, dan narkoba yaitu kejahatan luar biasa. Kementerian PP dan PA juga harus jadi katalisator untuk meningkatkan komitmen penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan anak dan mendorong komitmen kementerian/lembaga untuk mengintegrasikan isu perlindungan anak dalam perencananaan pembangunan,” jelas Fahira. [RN]