JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Siddik MA, mengatakan, policy pemerintahan saat ini semakin tidak ramah pada kemanusiaan, khususnya pada umat Islam. Contohnya dalam kasus pemberantasan terorisme, penggusuran rakyat, dan legalisasi minuman keras (miras).
Hal ini dikemukakan Siddik dalam rapat koordinasi Ramadhan yang diselenggarakan LAZIS Dewan Dakwah di Gedung Menara Dakwah Jakarta Pusat, Jumat (20/5/2016).
Rapat koordinasi pada 19-20 Mei 2016 itu diikuti LAZIS Dewan Dakwah Pusat dan Daerah (provinsi dan kota) seperti dari NTB, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Purwakarta, Subang, Bukittinggi, Jambi, Sambas, dan Riau serta Kawasan Industri Pulau Gadung Jakarta Timur.
Dalam kebijakan soal miras, menurut Siddik, pemerintah mengabaikan fakta betapa konsumsi miras sangat destruktif. ‘’Di tengah maraknya kejahatan kemanusiaan seperti perkosaan massal, penyiksaan, dan pembunuhan yang dipicu konsumsi miras, pemerintah malah akan mencabut Perda Miras,’’ ujar Siddik yang pernah bertugas lima tahun lebih di Unicef Kantor New York (AS) dan Kathmandu (Nepal).
Seperti dilansir media massa, Kementerian Dalam Negeri akan mencabut 3.266 Perda (peraturan daerah) yang dianggap menghambat investasi dan pembangunan. Termasuk di dalamnya, Perda berisi larangan miras. Di antaranya yang akan dicabut Perda di Papua, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Perda Anti Miras di Papua resmi diberlakukan 30 Maret 2016. Hal ini ditandai dengan penandatanganan Pakta Integritas Pelarangan Miras di Papua oleh Gubernur Papua beserta seluruh unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompida) Papua.
Menurut Gubernur Papua Lucas Enembe, miras merupakan penyebab utama kematian orang asli Papua. Selain itu, miras juga menjadi pemicu utama kriminalitas dan kecelakan lalu lintas yang berujung kematian.
Oleh karena itu, “Hari ini merupakan sejarah bagi generasi Papua. Di mana keputusan yang diambil untuk kepentingan menyelamatkan orang asli Papua dari kepunahan,” tandas Gubernur Papua di hadapan Forkompida Papua.
Bila pemerintah mencabut Perda miras Papua, kata Mohammad Siddik yang menjabat Direktur Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk Myanmar, berarti pemerintah secara tidak langsung melakukan pemusnahan (genosida) Bangsa Papua.
Genosida tak hanya mengancam papua. Menurut catatan Gerakan Nasional Anti Miras (Genam), setiap tahunnya jumlah korban tewas akibat miras mencapai 18.000 orang. Dalam kasus terbaru, belasan orang mati setelah berpesta miras oplosan di wilayah Yogyakarta.
Mohammad Siddik yang pernah belasan tahun berkiprah di Islamic Development Bank, menambahkan, eksistensi Perda miras saat ini punya dasar hukum yang kuat.
Keppres no 3/1997 yang melegalisir peredaran miras, telah dicabut oleh Mahkamah Agung pada 18 Juni 2013. Ini merupakan hasil judical review yang diajukan Front Pembela Islam (FPI).
Saat ini, miras diatur oleh Perpres No 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Kemudian ada Permendag No 06/2015 yang melarang total semua minimarket/toko pengecer di Indonesia menjual segala jenis minol (minuman beralkohol).
Dalam Perpres 74/2013, kepala daerah diberikan wewenang untuk mengatur peredaran miras sesuai dengan kondisi kulturnya. ‘’Artinya, kepala daerah punya wewenang untuk menerbitkan Perda Anti Miras seperti di Papua,’’ tandas Siddik. [RN]