RAMALLAH, (Panjimas.com) – Ahmed Safi adalah seorang warga Palestina berusia 89 tahun, yang berasal dari desa Beit Nabala di tempat yang sekarang tengah menjadi wilayah pusat pendudukan Israel.
Tetapi Beit Nabala kini tidak ada lagi: desa itu telah diratakan dengan tanah oleh pasukan Zionis berikut dengan pembentukan negara zionis Israel 68 tahun yang lalu.
“Aku ingat peristiwa “Nakba” seperti itu terjadi baru kemarin,” kata Safi kepada Anadolu Agency, “ketika sekelompok Yahudi bersenjata menyerbu desa kami, membongkar rumah-rumah kami dan memaksa kami dari tanah kami.”
Untuk diketahui, rakyat Palestina menggunakan kata “Nakba” untuk memaknai peristiwa “bencana” dalam bahasa Arab. Ini merujuk pada penghancuran ratusan desa dalam sejarah Palestina dan pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari tanah air mereka oleh kelompok-kelompok Zionis bersenjata dengan kepentingan untuk membuat jalan bagi pembentukan negara baru Israel pada tahun 1948.
Safi ingat ketika dirinya melihat orangtuanya berkemas dan meninggalkan rumah secara terburu-buru.
“Kami dipaksa untuk meninggalkan desa kami atau kami dibantai oleh pasukan Israel,” katanya.
“Sudah 68 tahun sejak saya [Safi] dipaksa untuk meninggalkan desa saya, tapi saya tidak akan pernah melupakan tanah leluhur saya,” tambahnya.
Safi hingga kini masih memegang kunci rumah lama miliknya, Ia pun menekankan bahwa “Pengembalian tanah kami adalah hak mendasar bagi setiap warga Palestina.”
“Jika saya mati sebelum dapat kembali ke desa saya, anak-anak saya atau anak-anak mereka pada akhirnya akan kembali, kami tidak akan pernah meninggalkan hak-hak kami untuk kembali,” tegas Safi..
Pesan Kepada dunia
Di Bethlehem, puluhan warga Palestina berangkat dari kamp pengungsi Dheisheh dan melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk memperingati “Hari Nakba”, yang jatuh pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya.
“Nakba Day” adalah pengingat untuk seluruh dunia akan hak-hak kami untuk kembali ke desa dan kota-kota kami yang telah hilang,” kata Monther Amira, seroang warga yang membantu mengatur kegiatan Nakba Day tahun ini, kepada Anadolu Agency.
“Kami memperingati 68 tahun perjuangan Palestina dan perpindahan kami,” katanya. “Ini juga pesan bahwa generasi baru Palestina tidak akan pernah melupakan tanah air leluhur mereka.”
Mohamed Karam, seorang warga Palestina berusia 25 tahun yang berasal dari kamp pengungsi Dheisheh, mengatakan bahwa dirinya bermimpi setiap harinya dimana ia dapat kembali ke rumah nenek moyangnya.
“Aku tidak akan pernah menyerah, hak-hak saya adalah untuk kembali ke kota Yaffa, dimana kakek saya telah diusir keluar 68 tahun yang lalu,” katanya
Ameena Abdullah, berusia 13 tahun, seorang gadis Palestina berasal dari sebuah desa di dekat Yerusalem, telah mendengar cerita dari neneknya tentang kampung halaman keluarganya di Lifta.
“Saya belum pernah melihat atau mengunjungi Lifta, tapi cerita nenek saya membuat gambaran yang indah dari apa itu Lifta seperti sebelum peristiwa Nakba,” katanya.
Ameena ingin menegaskan bahwa, meskipun dia belum lahir pada saat pengusiran terjadi, ia juga tetap memiliki hak untuk kembali ke tanah leluhurnya.
“Suatu hari nanti saya akan kembali ke desa saya dan membangun rumah baru di sana,” kata Ameena.
Dengan menggemakan tuntutan rakyat Palestina, ia pun menambahkan bahwa “Saya tidak akan pernah menyerahkan tanah saya.”
Abbas Zaki, seorang anggota terkemuka kelompok Palestina, Fatah, mengatakan bahwa “Nakba Day” diperingati untuk mengingatkan kepada dunia akan kekejaman “rezim rasis” Israel, yang, secara tegas Zaki katakan,” telah mendirikan negara di atas reruntuhan desa-desa dan lautan darah rakyat Palestina “.
“Kami tidak akan pernah melupakan hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke desa-desa dan kota-kota kami,” katanya kepada Anadolu Agency.
Perlawanan Intifada Terus Berlanjut
Bassam al-Salhi, seorang anggota Organisasi Pembebasan Palestina [PLO] mengatakan bahwa tahun ini Nakba Day terjadi di tengah berkelanjutannya perjuangan “Intifada” Palestina( “pemberontakan dan perjuangan rakyat Palestina”).
“Kami akan terus melawan pendudukan Israel sampai kami dapat membebaskan tanah kami, dan mendirikan sebuah negara merdeka serta dapat mengembalikan para pengungsi kembali ke rumah-rumah mereka,” kata al-Salhi.
“Hak pengembalian tanah kami adalah warisan Palestina yang tidak bisa dibebaskan,” tegasnya kepada Anadolu.
Mohamed Alyan, yang mengepalai Komisi Tinggi untuk peringatan Hari Nakba, mengatakan bahwa, setiap tahunnya, rakyat Palestina menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah melupakan peristiwa “Catastrophe” (bencana Nakba).
“Ribuan warga Palestina turun ke jalan untuk memperingati 68 tahun berlalu sejak peristiwa Nakba,” katanya, Ia pun mencatat bahwa baik generasi muda dan generasi tua telah turut ambil bagian dalam kegiatan Hari Nakba tahun ini di wilayah Tepi Barat.
“Kenangan akan Nakba dan hak pengemabalian atas tanah kami telah diwariskan dari generasi ke generasi,” kata Alyan.
Konflik Israel-Palestina dimulai pada tahun 1917 ketika pemerintah Inggris, dalam deklarasi yang terkenal disebut sebagai “Deklarasi Balfour,” menyerukan “pembentukan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.”
Pada tahun 1948, sebuah negara baru mengklaim sebagai negara “Israel” – didirikan di atas tanah Palestina yang berdaulat.
Sekitar 15.000 rakyatPalestina tewas, kemudian sekitar 800.000 dipaksa menjadi pengungsi, bahkan sebanyak 531 desa hancur dalam serangan oleh kelompok-kelompok Yahudi bersenjata pada saat itu.
Diaspora Palestina sejak itu menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Para pengungsi Palestina kini tersebar di seluruh wilayah Yordania, Lebanon, Suriah dan negara-negara lain, sementara itu masih banyak pula warga Palestina yang menetap di kamp-kamp pengungsian di Palestina, yakni di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Menurut UN Relief and Works Agency (UNRWA), Badan khusus PBB, saat ini ada lebih dari 5 juta pengungsi Palestina yang terdaftar.
Bagi rakyat Palestina, hak pengembalian tanah air mereka dan rumah-rumah mereka dalam sejarah Palestina tetap menjadi tuntutan utama. [IZ]