SOLO, (Panjimas.com) – Di tengah cuaca mendung yang menyelimuti kota Solo dan bayang-bayang pelarangan organisasi eksternal kampus, GEMA Pembebasan Komisariat Universitas Sebelas Maret (UNS) “nekad” mengadakan Dialogika yang merupakan agenda rutin bulanan.
Dalam edisi kali ini Dialogika mengambil tema “Rofidhoh Berulah, Aleppo Berdarah! Pemilihan tema seputar Aleppo tidak lain dikarenakan terjadinya serangan brutal rezim Suriah pada sekira akhir bulan April lalu yang banyak memakan korban jiwa dari penduduk sipil dan menimbulkan kerusakan fisik yang parah.
Hadir sebagai pembicara Dialogika Adhytiawan Suharto dari HMI Komisariat M. Iqbal, Muhammad Mukhtarrija dari KAMMI Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi UNS, Agus Setyawan dari BKLDK Soloraya, Nugroho Sunu dari Puskomda FSLDK Soloraya dan Rahmadi Al Ghaffar dari PD GEMA Pembebasan Soloraya.
Sebelum membuka jalannya Dialogika moderator, Fauzan Syakur, mengajak untuk mendoakan para korban dan semua ummat Islam yang berada di Aleppo. Mengawali pembukaannya moderator mengapresiasi langkah capat BKLDK Soloraya dan Aliansi Pemuda Indonesia yang telah mengadakan aksi penggalangan dana untuk Aleppo beberapa waktu lalu.
Sebagai pembicara pertama Adhytiawan memaparkan sejarah konflik Suriah dan kondisi terakhir mengenai faksi-faksi jihad di Aleppo. Mengawali pembahasannya, Adhytiawan menjelaskan bahwa Suriah adalah wilayah jajahan Prancis paca terlepas dari Khilafah Utsmaniyah.
“Sebagaimana penjajah pada umumnya, Prancis pun tidak mau meninggalkan Suriah secara total. Sebisa mungkin Prancis akan tetap menanamkan pengaruhnya di Suriah pasca dia hengkang.” ujarnya.
Prancis kemudian mengangkat antek-antek yang setia membela kepentingannya. Pada tahun 1947 melalui para anteknya Prancis berhasil mendirikan Partai Ba’ats yang berideologi Sosialis-Komunis. Sekira satu setengah dekade kemudian partai tersebut berhasil menduduki pemerintahan. Hingga pemerintahan dikuasai orang-orang Nushairiyah yang memang menjadi basis kekuatan partai Ba’ats.
Sejak kekuasaan Hafidz Asad, kakek Bashar Asad, Suriah menjadi pemerintahan diktator yang kebijakannya banyak melukai rakyat Suriah diantaranya menjual kota Homs, Aleppo dan Damaskus hingga kota tersebut jauh dari syariat Islam. Bahkan pada tahun 1967 dataran Tinggi Golan dijual kepada Israel. Kebijakan-kebijakan serupa sangat banyak terjadi di Suriah hingga menimbulkan kemarahan rakyat.
Sementara pemilu demokrasi yang diharapkan mampu mengubah keadaaan ternyata tidak berhasil, hingga pada akhirnya rakyat memilih untuk melakukan demonstrasi yang justru disambut dengan moncong senjata. Sejak saat itu Maret 2011 hingga sekarang perang pun terus terjadi.
Menutup pembahasannya Adhytiawan menyatakan bahwa Aleppo saat ini 80 persen dikuasai oleh mujahidin Jabhah Nusrah bersama beberapa faksi jihad di bawahnya antara lain FSA, Jaishul Syam dan yang lain.
Sementara Mukhtarrija memaparkan mengenai status pertempuran Suriah dilihat dari sudut pandang Hukum Humaniter Internasional (HHI). Mukhtarrija mengatakan bahwa Suriah mengalami krisis kemanusiaan.
“Rezim Bashar yang berperang melawan rakyatnya dengan jelas melanggar HHI karena menargetkan penduduk sipil dan fasilitas umum dalam berbagai serangannya. Anak-anak, wanita dan warga sipil yang nota bene bukan kombatan justru menjadi mayoritas korban selama perang terjadi.” paparnya.
Fasilitas umum seperti rumah ibadah, rumah sakit, gedung publik juga menjadi target serangan. Semua itu jelas melanggar ketentuan Konvensi Den Haag 1909, Konvensi Jenewa 1949 maupun protokol tambahan lain. Intinya bahwa dalam perang yang terjadi di Suriah ini telah banyak terjadi pelanggaran berkaitan cara, target serta perlakuan terhadap korban maupun kombatan. Oleh karena itu rezim Bashar harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di Mahkamah Internasional karena itu semua termasuk kejahatan perang.
Selanjutnya pembicara ketiga Agus Setyawan mengkritisi sikap penguasa negeri muslim lain yang hanya diam seolah tidak terjadi apa-apa. Para penguasa hanya beretorika namun nihil dari aksi nyata dalam artian mengirimkan tentaranya untuk melawan rezim Bashar dan menyelamatkan kaum muslimin disana. “Kirimkan militer kesana (Aleppo) selesai”, tuturnya.
Diamnya penguasa negeri-negeri muslim di dunia tidak lain karena bergesernya “rabith” atau ikatan. Dahulu umat Islam diikat dengan ikatan aqidah Islam yang tidak memandang bangsa maupun teritori, namun saat ini ikatan yang dipakai justru nasionalisme. Nasionalisme inilah yang menyebabkan para penguasa negeri muslim tak acuh terhadap apa yang terjadi di Suriah karena mengangap bukan masalah nasionalnya. Bahkan yang lebih buruk lagi para penguasa negeri muslim justrumenghamba kepada Amerika Serikat hingga seolah hidup dan matinya ada ditangan Amerika.
Rahmadi Al Ghaffar sebagai pembicara keempat menyatakan bahwa serangan yang terjadi di Aleppo adalah untuk memutus jalur logistik kepada para mujahidin dan warga sipil disana. Tindakan tersebut jelas tidak manusiawi. Rezim Bashar berkali-kali melanggar kesepakatan gencatan senjata. Yang lebih ironis bahwa gencatan senjata tidak pernah dilakukan dengan mujahidin yang mukhlis, melainkan hanya dengan oposisi sekuler yang diciptakan Barat.
Sesungguhnya yang terjadi di Aleppo maupun belahan negeri muslim lainnya adalah sama, yaitu pertarungan ideologi Kapitalisme dengan ideologi Islam. Semua itu dilakukan untuk membendung kembalinya Islam sebagai kekuatan yang akan menyatukan seluruh ummat islam di dunia dalam negara Khilafah.
Itulah tujuan yang hendak dicapai Barat melalui rezim Bashar, kolalisi setan Amerika maupun Rusia dan Iran. Oleh karena itu mustahil mengharapkan solusi dari PBB. Solusinya hanya dengan kembali ajaran Islam secara total dalan naungan negara Khilafah. Itulah yang mestinya diupayakan sekuat tenaga oleh kaum muslim seluruh dunia untuk mengakhiri kezaliman Kapitalisme.
Sementara Nugroho Sunu yang terlambat hadir terpaksa menyampaikan disisa-sisa waktu diskusi. Ia menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap tragedi Aleppo. Bahkan di Aleppo terjadi lebih dari 40 kali serangan dalam sehari, khususnya pada tanggal 29 April hingga untuk pertama kalinya tidak ada sholat Jumat di Aleppo setelah 1400 tahun Islam masuk disana.
Meskipun ia bersama Aliansi Pemuda Indonesia sempat melakukan aksi penggalangan dana pada beberapa hari yang lalu, namun masih bingung untuk menyalurkannya karena khawatir dianggap menyumbangkan dana bagi “teroris”. Sementara itu beliau sepakat dengan pernyataan Agus Setyawan dai BKLDK bahwa diamnya penguasa negeri muslim adalah karena nasionalisme.
Di akhir Dialogika moderator terpaksa meniadakan sesi tanya jawab karena turun hujan dan waktu yang mendekati maghrib. Sehingga Dialogika langsung ditutup dan peserta membubarkan diri. [RN]