YOGYAKARTA, (Panjimas.com) – Jama’ah Sholahudin Universitas Gajah Mada (UGM) menggelar Public Discussion bertema “ Menyikapi Secara Adil Pemberantasan Terorisme di Indonesia” di Masjid Kampus UGM, jalan Olahraga, Bulaksumur, Depok , Sleman, Yogyakarta, Kamis (5/5/2016).
Mereka menghadirkan lima pembicara sekaligus, diantaranya Dahnil Anzar S. S.E, M.E, ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Prof. Jawahir Thontowi, S.H, Ph.D, tokoh Hukum Nasional, Dr. Muinudinillah Basri, M.A, Ketua Dewan Syari’ah Kota Surakarta, Sri Kalono, S.H, M.SI Advokat dan Pengamat Terorisme, Dr.M.Mukhtassar S. M.Hum Kabid Kajian dan Penelitian FKPT DIY.
Pada kesempatan tersebut, Ustadz Muinudinillah Basri menyampaikan bahwa dalam menyikapi pemberantasan terorisme yang adil tentunya perlu dilihat posisi pemerintah saat ini. Menurutnya pemerintah saat ini sangat lemah dalam mengambil tindakan dengan bersandar pada Pancasila dan undang-undang.
“Mestinya kita itu menggunakan kekuatan yang legalitas yang ada di Indonesia itu untuk menggebuk orang yang rusak. Jangan sampai kita dibenturkan, contohnya Pancasila dan Undang-undang 1945. Selama ini kan gini, Pancasila dan Undang-undang 1945 digunakan oleh penguasa untuk gebukin orang yang ingin syari’at Islam. Gebukin ustad Abu Bakar Ba’asyir, FPI digebukin. Harusnya Ahmadiyah dibubarkan, Liberal juga gitu ”ucap Direktur Ponpes Ibnu Abbas Klaten.
Ustadz Muin melanjutkan seharusnya umat muslim memanfaatkan undang-undang dengan menegakkan Islam secara utuh maupun secara konstitusi. Karena menurutnya secara konstitusi Islam di Indonesia dilindungi Undang-undang.
“Dekrit Presiden ‘ 59 no 1 itu jelas mengatakan bahwa undang-undang dasar 45 dijiwai piagam Jakarta. Artinya kalau kita menegakkan Islam seratus persen itu tidak masalah, sehingga PKI bertentangan Pancasila, juga Syiah. Yang sering terjadi apa? preman menggunakan polisi untuk gebukin laskar Islam, harusnya laskar gunakan polisi untuk gebukin mereka” lanjutnya.
Ustadz Muin mengakhiri pembahasannya bahwa negara ini mestinya memiliki dasar yang benar. Dan kuncinya ada pada penguasa, manakala orang yang dekat dengan penguasa salah, maka Indonesia hanya jadi rebutan.
“Kita mahasiswa kan orang cerdas bahwa membela negara itu hak kita. Termasuk meluruskan ideologi negara, contohnya Sukarno kok bisa melegitimasi Pancasila dengan Nasakom, Suharto dengan P4-nya, sekarang Densus 88 itu bersandar dengan Pancasila. Sekarang saya katakan Pancasila, UUD 45 tanpa dengan Islam tidak mungkin menjadikan Indonesia itu Indonesia Raya, tetapi menjadikan Indonesia Rayaan” tegas Ustad Muin.
Sementara Jawahir Thontowi menyampaikan bahwa dengan adanya kasus Siyono, negara dalam hal ini Densus 88 tidak bisa menolak bukti yang disampaikan 9 tim dokter forensik bahwa disana ada ketidakadilan aparat terhadak hak asasi manusia.
“Inilah bukti yang tidak dimiliki negara, aparat kepolisian dan Densus 88 yang tidak bisa menolak. Kesalahan negara yang lain adalah menyamakan hukum tindak pidana terorisme dengan hukum liberal konvensi Denhag 49, menegakkan hukumnya dengan cara-cara perang. Jadi teroris itu menurut hukum Internasional Amerika disamakan dengan kombatan. Kalo dengan kombatan itu tidak dialog, hukumnya ada dua, SHOOT, ditembak atau dilumpuhkan, mati duluan atau terkapar belakangan” ucap Thontowi. [SY]