YOGYAKARTA,(Panjimas.com) – “Dari 120 yang jadi korban kasus penangkapan tanpa proses hukum yang dilakukan Densus 88 yang kemudian dikembalian dalam bentuk mayat, memang yang paling berani ini ya, mbak Ratmi. Jadi bukan sekedar cuma Muhammadiyah, tapi ada sesosok mbak Ratmi ini” ucap Dahnil Anzar S. S.E, M.E, saat dirinya mengisi Public Discussion di Masjid Kampus UGM, Jalan Olahraga, Bulaksumur, Depok , Sleman, Yogyakarta, Kamis (5/5/2016).
Dahnil mengatakan bahwa keberanian Suratmi untuk mencari keadilan bagi suaminya, membuat semangat bagi
Muhammadiyah memberikan upaya hukum dan membantu mengungkap kematian Siyono suaminya.
“Muhammadiyah hanya memfasilitasi keberanian mbak Ratmi, kenapa begitu? Ketika di surat itu, dia diberitahu bahwa suaminya sudah meninggal, mbak Ratmi itu diminta tanda tangan yang intinya tiga poin. Pertama supaya mengikhlaskan kematian suaminya tersebut, kemudian kedua tidak perlu menuntut secara hukum, kemudian tidak perlu menyewa pengacara. Nah mbah Marso orang tuanya malah tanda tangan, karena dia gak paham. Sebab pada waktu itu sudah disiapkan bahwa dia harus tanda tangan. Tapi mbak Ratmi, dia tidak tanda tangan, dia menolak tanda tangan” ujar Dahnil ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Dahnil menilai bahwa apa yang dilakukan Suratmi adalah tindakan perempuan yang unik. Menurutnya Suratmi memiliki komitmen, daya juang yang luar biasa, tidak kalah dengan uang dan pemberani. Padahal Suratmi dan Siyono bukanlah kader maupun warga Muhammadiyah.
“Bahwa kami tegaskan mbak Ratmi bukanlah kader Muhammadiyah, juga bukan warga Muhammadiyah. Siyono juga bukan warga Muhammadiyah apalagi kader Muhammadiyah. Namun beliau datang ke Muhammadiyah, minta pertolongan pada Muhammadiyah” jelas Dahnil.
Menurut Dahnil, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, dengan kasus dan kondisi tersebut maka Muhammadiyah layak memberikan solusi, dan siap membantu. Namun yang perlu diingat bahwa diantara 120 korban, ada dari pihak keluarga yang ketika diberi uang kemudian mereka bungkam.
“Ketika keluarga diberi uang, mereka bungkam tidk berani menuntut keadilan, namun Suratmi berani menuntut keadilan, menolak uang.”tutur Dahnil.
Dahnil menceritakan ketika peristiwa pengusiran oleh kepala desa, dirinya mendatangi kantor kepala desa Pogung, Cawas, Klaten guna mengklarifikasi kebenaran berita pengusiran keluarga Siyono. Menurutnya Joko Wardoyo, kepala desa Pogung mengatakan tiga tuntutan, yaitu pertama ada baiknya jenazah Siyono tidak diotopsi karena sudah tenang. Yang kedua warga menolak otopsi, yang ketiga kalau terpaksa dilakukan otopsi harus dilakukan diluar desa Pogung dan keluarga Siyono harus pergi dari desa Pogung.
“Itu adalah tuntutan kepala desa, kemudian saya datangi mbak Ratmi, saya katakan pada mbak Ratmi. Mbak Ratmi kami Muhammadiyah akan terus mendampingi anda untuk menuntut keadilan. Tapi kami kerja ada legal standingnya, trus saya sampaikan tuntutan kepala desa yang tiga itu. Mbak Ratmi jawab gini, mas Dahnil, saya mencari keadilan atas nama suami saya, kalaupun dalam proses mencari keadilan itu saya harus terusir, bumi Allah itu luas mas. Saya denger itu tangan saya merinding, ini wanita luar biasa dia nggak takut terusir lho” kisah Dahnil.
Dahnil meneruskan bahwa ketika pembicaraan itu, disampingnya juga ada ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten yang berani menyampaikan pembelaannya atas apa yang akan menimpa Suratmi.
“Dia jawab gini, mbak kalau betul warga mengusir mbak, kami Muhammadiyah Klaten itu yang akan menanggung seluruh biya kehidupan mbak ratmi, kami yang menyediakan rumah, kami yang menyediakan dana untuk kehidupan mbak sehari-hari, dan sekolah anak-anak mbak Ratmi. Saya jadi tambah semangat mencari keadilan ini” tutur Dahnil.
Dahnil kemudian mendatangi kepala desa kembali, dan menyampaikan bahwa Muhammadiyah menghormati sikap kepala desa, namun keluarga Siyono tetap akan melakukan otopsi meski ada penolakan dari kepala desa. Sementara Muhammadiyah punya infrastruktur untuk melakukan otopsi.
“Kami akan bantu otopsi, kan pak Lurah tidak menghalangi, hanya mau mengusir. Maka Muhammadiyah akan menampung, dan tindakan pak Lurah yang berencana mengusir ini sudah melanggar HAM, itu pasti. Kemudian yang kedua pak Lurah, negri ini dibangun oleh orang-orang yang terusir, nabi Muhammad itu orang yang terusir pak Lurah, dari negri Mekkah”crita Dahnil.
Lebih lanjut Dahnil mendesak pada kepala desa menanyakan siapa aktor rencana dibalik pengusiran keluarga Siyono. Namun Kepala desa tidak tegas menjawab dan berbelit-belit. Justru menurut Dahnil ketika proses otopsi tidak ada tanda-tanda pengusiran maupun penolakan warga yang ada malah warga membantu proses otopsi sampai selesai.
“Memang hari pertama dan kedua tidak ada warga yang ngomong karena ada polisi, namun hari ketiga keempat warga ada yang ngomong berterima kasih dengan proses otopsi sudah dibantu oleh Kokam dan Muhammadiyah. Bahkan hari pertama justru warga yang menyediakan makanan dan minuman untuk orang yang melakukan proses otopsi” imbuh Dahnil.
Dahnil mengakhiri kisahnya ketika proses otopsi, dari pihak Polres Klaten mendesak untuk membatalkan karena harus lapor terlebih dahulu pada pihak Densus 88. Sementara Dahnil bersikukuh akan terus melakukan karen Muhammadiyah punya legal standing dari lembaga negara Komnas HAM.
“Komnas HAM punya legalitas sebagai lembaga negara berdaasarkan Undang-undang 2009, Komnas HAM meminta pada kami, saya gitukan. Ini tetep aja ngotot tidak bisa pak, tidak bisa. Harus ada ijin dulu dari atasan kami”
Kemudian muncul dialog antara Kapolri dsan pak Busro Muqodas. Intinya harus ada dari pihak kepolisian yang mendampingi proses otopsi. Lantas munculah nama dokter dari Polda Jateng. “Siapa dokter yang dari Polda?” tanya Dokter Gatot ketua tim dokter forensik Muhammadiyah. Itu Kapolda ngomongnya mantap. “Dokternya adalah Doktor Dokter Sumi Astri.” Terus dokter Gatot jawab “Ooo,Sumiastri itu murid saya”.
“Nah dari situ Kapolda down kayak bangunan runtuh” pungkas Dahnil diikuti tawa peserta diskusi. [SY]