JAKARTA, (Panjimas.com) – Buku dan negara maju sudah menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Semua negara maju di dunia menyadari bahwa kebijakan sistem perbukuan adalah syarat mutlak dalam upaya menghidupakan dunia penerbitan, penumbuhkembangan minat baca, pemberantasan butu aksara, pencerdasan kehidupan bangsa dan muaranya kemajuan bangsa. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melahirkan sistem perbukuan yang diatur dalam sebuah undang-undang yang salah satu tujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat dengan menyediakan buku berkualitas yang murah dan tersebar merata.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengungkapkan bahwa semua negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Prancis, dan Jerman juga menjadi negara yang mendominasi penerbitan buku dunia. Langkah ini kemudian disusul oleh Rusia, Spanyol, Cina, dan India. Bahkan di India, harga buku dari penerbit internasional dan ternama sekalipun sangat murah karena tidak ada pajak buat penerbitan buku. Hasilnya, India menjelma menjadi salah satu kekuatan dunia.
“Buku menjadikan mereka menguasai ilmu pengetahuan. Bukankah Jepang menjadi penguasa teknologi dunia karena sejak dulu pemerintahnya punya program menerjemahkan berbagai buku dari dunia barat kemudian dijual dengan harga yang cukup murah? Ini semua bisa terjadi karena mereka sudah punya sistem perbukuan. Saat ini RUU Sistem Perbukuan jadi prioritas pada 2016. Kita dorong bersama segera rampung tahun ini karena memang kehadirannya sangat mendesak,” ujar Senator Jakarta ini di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Kamis, (28/4/2016).
Menurut Fahira, selain soal anggaran, sistem belajar mengajar, kompetensi guru, infrastruktur, dan pemanfaatan teknologi, rendahnya minat baca sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan Indonesia. Negara dengan minat baca rendah dapat dipastikan juga memiliki kualitas pendidikan yang rendah juga.
Indonesia misalnya, merujuk pada hasil survei UNESCO pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Pada Maret 2016 lalu, Most Literate Nations in the World, malah merilis pemeringkatan literasi internasional yang menempatkan Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara. Kondisi yang sama juga terjadi pada pemeringkatan tingkat pendidikan Indonesia di dunia yang memang dari tahun ke tahun belum beranjak dari papan bawah dalam berbagai survei internasional, salah satunya World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara.
“Kaitan antara minat baca dengan kualitas pendidikan sangat erat. Di Indonesia, rendahnya minat baca karena masyarakat kesulitan dalam memperoleh dan memanfaatkan buku secara mudah dan tanpa diskriminasi. Ini karena sistem perbukuan di Indonesia belum berkembang secara memadai baik secara budaya, politik, ekonomi, maupun hukum. Kalau kondisi ini terus berlangsung, sulit bagi kita jadi negara maju,” jelas Fahira.
Sebenarnya, lanjut Fahira, China dan India juga punya persoalan pendidikan yang sama dengan Indonesia. Namun, mereka mampu meretas luasnya cakupan wilayah negara dan masih belum sempurnanya kualitas pendidikan (distribusi dan kualitas guru yang belum merata dan mumpuni) lewat penyediaan buku murah dalam jumlah banyak sehingga kesempatan memperoleh pendidikan dan pengetahuan semakin merata di kedua negeri itu.
“Ini yang belum terjadi di Indonesia. Harusnya sistem pendidikan kita yang belum baik ini, bisa ditutupi dengan penyediaan buku murah dan merata. Buku bisa menjadi cahaya terang yang dapat menerangi kekurangan sistem pendidikan kita,” ungkap Fahira.
Walau Indonesia, tambah Fahira, adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan juga menjadi salah satu negara dengan wilayah terluas di dunia, tetapi tidak diikuti dengan pertumbuhan dan penyebaran buku yang baik. Jumlah produksi buku nasional yang diterbitkan rata-rata per tahun hanya sekitar 6.000 judul.
“Sangat timpang, belum lagi kalau kita bicara distribusi buku yang kebanyakan masih beredar di Pulau Jawa. Makanya Pemerintah dan Parlemen harus fokus agar RUU ini segera disahkan. Saya yakin kalau kita punya sistem perbukuan, salah satu dampaknya akan menumbuhkan semangat literasi karena buku tidak lagi menjadi ‘barang mewah’ yang terpampang di toko mentereng di mall-mall kota besar tetapi juga di desa-desa,” tutup Fahira.[RN]