JAKARTA (Panjimas.com) Polri menolak hasil autopsi terhadap terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh Komnas HAM dan PP Muhammadiyah, yang hasilnya diumumkan hari Senin (11/04).
Juru bicara Polri, Agus Rianto, mengatakan pihaknya tetap berpegang pada hasil autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik kepolisian. (Baca: Dokter Forensik Kepolisian Ternyata Murid Ketua Tim Forensik Muhammadiyah)
“Itu adalah hak mereka untuk menyampaikan. Menurut hasil yang pernah disampaikan Kapusdokkes, itu ada benturan di kepala, kemudian juga ada tanda-tanda kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak,” kata Agus, seperti dikutip BBC.
“Dalam artian, mereka berkelahi di dalam kendaraan, seperti itu,” tambah Agus.
Dalam konferensi pers mengenai hasil autopsi oleh Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia, dan PP Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono menunjukkan bahwa Siyono meninggal karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung. (Baca: Hasil Autopsi: Siyono Meninggal Karena Banyak Patah Tulang di Bagian Dada)
Hasil autopsi tersebut juga tak menunjukkan ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono.
Penyebab kematian Siyono
Tim forensik yang diketuai oleh Gatot Suharto juga menemukan luka ketokan di kepala, tetapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian, sementara menurut polisi perdarahan di kepala itulah yang menjadi penyebab kematian.
Komisioner Komnas HAM Siane Indriani menjelaskan hasil autopsi terhadap jenazah Siyono memperlihatkan bahwa jenazah mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung.
“Titik kematian ada di situ,” kata Siane kepada para wartawan.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas menjelaskan bahwa autopsi Siyono adalah bentuk “kontrok publik” terhadap kinerja Densus 88 dalam penanganan masalah terorisme.
Busyro mengatakan “sudah lama tidak ada indikasi turunnya frekuensi, kualitas, atau volume” tindakan terorisme dan “tidak pernah diungkap dengan lebih transparan karena (terduga) langsung meninggal dunia”, maka menurutnya upaya melakukan autopsi dan membukanya pada publik sebagai bentuk kontrol terhadap Densus 88.
Terhadap kritik ini, Agus mengatakan bahwa polisi, terutama Densus 88, sudah punya data terhadap setiap terduga teroris yang ditangkap atau yang kemudian tewas dalam penangkapan. [AW/BBC]