SOLO, (Panjimas.com) – Meski diwarnai gerimis acara malam keprihatinan pembubaran Densus 88 yang diselenggarkaan Konas (Komunitas Nahi Munkar Surakarta) Sabtu, (9/4/2016) sukses terlaksana. Ratusan masyarakat kota Solo terlihat serius mengikuti acara demi acara hingga usai.
Acara yang diselenggarakan di pintu selatan GOR Mahanan Solo tersebut bertujuan menuntut pembubaran Densus 88 dan juga advokasi terhadap Siyono seorang Imam Masjid yang meninggal karena dianiaya oleh Densus 88.
Ada hal menarik dalam malam keprihatinan tersebut yakni adanya seni hadrah yang ikut memeriahkan acara tersebut. Salah satu panitia menjelaskan bahwa partisipasi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan atas kedholiman yang dilakukan terus menerus oleh densus 88 terhadap umat Islam.
Sedangkan acara diskusi menghadirkan dua pembicara yaitu Endro Sudarsono SPd selaku Sekjend ISAC (The Islamic Study and Action Center) serta Anis Priyo Anshori SH selaku Koordinator TPM Jawa Tengah.
Sebelumnya Ketua DSKS Ust Dr Muinudinillah Basri MA akan mengisi acara tersebut namun karena sesuatu hal maka tidak bisa hadir.
Dalam pemaparannya Endro Sudarsono panjang lebar membahas kondisi Siyono yang meningal karena dianiaya oleh anggota Densus 88.
“Saat jenazah tiba kami menemukan data bahwa jenazah Siyono banyak terdapat luka dibeberapa bagian tubuhnya” ujarnya.
Temuan itulah yang mengawali pendabat bahwa Siyono meninggal karena dianiaya. Karena sebelumnya saat ditangkap Siyono dalam kondisi sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit.
Kebiasaan Densus 88 yang sering menganiaya dan bertindak arogan juga disampaikan dalam acara tersebut.
Endro Sudarsono juga mengkritik atas lemahnya data dan intelijen yang dimiliki oleh Densus 88 sehingga saat dilapangan sering terjadi salah tangkap atau salah tembak karena tidak memiliki data yang cukup.
“Artinya introgasi dan intelijen menjadi sangat penting dalam mengungkap sebuah kasus”
Senada dengan Endro Sudarsono, Anis Priyo juga menjelaskan bahwa Densus 88 sering melakukan kekerasan dalam menangkap orang yang dicurigai sebagai teroris.
Selanjutnya, adalah kebiasaan Densus 88 yang sering menjadikan saksi mahkota dalam persidangan. Artinya orang yang menjadi tersangka juga dijadikan saksi untuk mengungkap kasus lain. Dengan demikian peran saksi menjadi bias karena juga menjadi tersangka.
Peran media sekuler yang sering menggiring opini dalam kasus terorisme juga disesalkan.
“Sebutan terduga dalam KUHP itu tidak ada. Namun dalam kenyataannya banyak media yang sering mengatakan demikian.” ungkapnya.
Anis Priyo juga memprotes atas kebiasaan Densus 88 yang sering melakukan salah tangkap namun setelah disiksa dan dianiaya selama 7×24 jam tidak diberikan SP3.
“Dengan demikian status dari orang yang ditangkap tersebut menjadi tidak jelas dan sewaktu-waktu jika Densus 88 menginginkan bisa ditangkap lagi meski bukti dilapangan tidak ditemukan.” paparnya.
Selain diskusi dalam acara tersebut juga ditanyangkan beberapa video terkait kekejaman Densus 88 dalam menyiksa orang yang dicurigai sebagai teroris. Sedangkan Film Alim Lam Mim menjadi penutup dalam rangkaian acara tersebut.
Disekitar panggung juga dipajang poster atau spanduk yang berisi tuntunan pembubaran Densus 88.
Awalnya acara akan berakhir sampai pagi hari dengan melakukan sholat lail serta sholat subuh berjamaah namun karena adanya larangan dari Polres Surakarta maka acara ditutup pada pukul 00.00 dini hari.
Acara kemudian dilanjutkan ke Masjid Kota Barat untuk salat malam dan qunut nazilah yang dipimpin Ustadz Rosyid Ridho Ba’asyir. [RN]