KLATEN, (Panjimas.com) – Hari ini adalah hari paling di nanti-nanti. Waktu yang membuat hati berseri-seri sekaligus berseru-seru. Hari yang membuat diri ini dulu saling berbangga, saling meledek sesama, hari-hari penuh keceriaan, penuh kehangatan.
Saat ini, ayah dan bunda akan datang,orang tua kebanggan kita. Segera kita memeluk dan mencium tangannya. Hari ini pun begitu mendebarkan, melihat deretan angka dari balik buku besampul biru itu. Tak ada hari-hari yang begitu dinanti kecuali hari ini: Hari pembagian rapor.
Seorang gadis belia, Fatimah masih dag dig dug. Abi dan Uminya yang berjanji akan mengambilkan raport perdananya masih belum datang. Rautnya harap-harap cemas. Suasana yang pernah kita rasakan dulu kala, suasana yang tak asing lagi bagi kita. Satu per satu para orang tua siswa datang ke Pesantren DarulHijroh di sudut Nguter, Sukoharjo.
Kenangan akan pembagian raport selalu membekas di dalam hati. Tiap kita punya kenangan sendiri. Ayah yang super sibuk susah payah menyempatkan datang, hingga wajah ini berseri-seri. Ibu yang datang dengan penuh kebanggaan akan anaknya.
Kenang-kenangan masa silam yang membuat diri ini terenyuh, tersenyum kecil hingga tertawa. Kenangan akan sosok Ayah dan Bunda kebanggan kita. Para orang tua yang saling berbincang hebat berkisah ihwal kita, anak-anaknya.
Wajah kita yang malu-malu mengintip map yang dibagikan wali kelas. Hati yang terus bertanya-tanya rangking berapa? Berapa nilai-nilanya? Apakah Ayah akan marah? Hadiah apa yang akan diberikan?
Pertanyaan yang juga terbesit di hati Fatimah, di kali pertamanya hari pembagian raport di MTs Pesantren Darulhijroh. Siswi kelas satu SMP ini masih celingukan, menanti sang Ayah yang sudah berjanji akan mengambil raportnya. Sudah lama mereka tak bersua.
Pesantren Fatimah hanya mengizinkan dirinya pulang ke rumah sebulan sekali tiap Kamis awal bulan. Belum sampai 24 jam, dirinya sudah harus memendam kerinduan dengan Abi dan Umminya, Siyono dan Suratmi.
Berat memang, seorang gadis belia, meninggalkan Abi dan Ummi yang begitu dicinta. Hanya sehari selama sebulan mereka melepas kerinduan. Kerinduan yang begitu membuncah dalam dada. Setiap Kamis, melewati hamparan sawah, Fatimah melepaskan kerinduannya menuju kampung halamannya.
Belum sampai dua puluh empat jam, ia harus kembali ke Pesantren, bertekad merampungkan pendidikannya. Sang Ayah, Siyono, memang ingin anak pertamanya betul-betul paham agama dengan baik. Maka dimasukkan anaknya ke Pesantren Darulhijroh, walau berkilo-kilo jarak yang harus ditempuh.
Dan kini, hari mendebarkan pun tiba. Siyono ditemani istri tercintanya, akhirnya datang untuk mengambil raport sang anak sulung.
“Abi bersama Ummi datang mengambil raport,”Fatimah mengenangkan sosok Siyono, kepada wartawan anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) dengan mata berkaca-kaca sepenggal April silam.
Hari pengambilan rapor adalah hari istimewa bagi Fatimah. Ia tak kan pernah melupakannya, bahwa itu hari terakhir sosok sang Abi mengambilkan raport untuk dirinya. Tiap kita memiliki kenangan manis tentang Ayah, tentang hari itu, dan Fatimah kini mengisahkan kenangan manisnya.
Bulir-bulir bening masih berkumpul di sudut matanya. Dengan stelan gamis dan kerudung coklat, ia sejenak menepuk-nepuk memorinya. Kepergian seorang ayah untuk selamanya merupakan pukul anter berat bagi seluruh anak di manapun, tak terkecuali anak sulung Siyono. Namun, kenangan itu masih tersimpan dengan apik.
Dengan wajah berseri-seri Fatimah akhirnya bersua dengan sang Abi. Siyono datang pagi-pagi memenuhi janjinya.
“Nak, nanti Abi belikan sendal eiger,” kata Fatimah menirukan ucapan ayahnya.
Sambil duduk manis, satu per satu wali murid dipanggil ke depan. Fatimah masih gusar, seperti apa raportnya? Apakah nilanya bagus? Ranking berapa?
Dan giliran Siyono kin maju ke depan. Fatimah hanya melirik malu-malu. Ini adalah raport pertamanya setelah satu semester sekolah SMP di Pesantren sambil mondok. Dag dig dug terasa tak karuan.
Setelah map raport diterima Siyono, Fatimah pun mendekat. Dengan tersipu, takut dimarahi sang Ayah, Fatimah ingin tahu hasil raportnya. Rupanya, ia rangking 13 dari 42 siswa. Dikira sang Ayah akan marah, Siyono malah berkata lembut.
“Jangan lupa belajar. Sholat tepat waktu ya nak. Tidak pinter ga apa-apa, yang penting kamu paham agama,” kenang Fatimah, mengulang nasehat yang rupanya menjadi nasehat terakhir sang Abi.
Setiap ayah pasti bercita-cita memiliki buah hati yang paham ilmu agama. Karena akhir zaman seperti saat ini, pendidikan agama lebih penting dari segalanya. Hal itu terbukti dari nasihat terakhir Siyono yang diberikan kepada anak gadis pertamanya saat di penghujung Desember 2015.
Fatimah tak kuasa menahan bulir bening yang tak terasa sudah meleleh melewati pipinya. Sambil menghela nafas, ia menuturkan bahwa ayahnya sosok yang sangat mementingkan agama, namun di sisi lain sangat memerhatikan kebahagiaan sang anak.
Kini, Fatimah belum bisa melupakan beberapa kenangan manis dalam hidupnya. Sarana bermain yang terletak di JalanWonosari Km, 10 Yogyakarta, menjadi saksi beberapa tahun silam saat dirinya diajak almarhum berkunjungke wahana permainan Kids Fun.
“Kenangan manis yang saya ingat saat wisata ke Kids Fun, Yogja bersamanya,” kenangnya tak kuasa menitihkan air mata.
Tangan kecilnya sesekali memegang kerudungnya yang terangkat tertiup angin. Dengan menaikkan alisnya, Fatimah berkata dengan lirih masih teringat canda tawa terakhir bersama Siyono, saat beliau pulang dari Gorontalo ketika kakeknya meninggal.
Kini, dirinya sudah berubah180 derajat dari anak-anak seumurannya. Sejak musibah 8 Maret itu, keceriaan Fatimah seakan telah hilang, berganti dengan kemuraman. Hanya saja, nasehat sang Ayah menjadi peneguh dirinya.
Nasehat terakhir kali nyang menjadi penawar, bahwa dirinya harus meneruskan cita-cita Abu dan Ummi. “Saya ingin menjadi guru, melanjutkan perjuangan mereka,” katanya mantap.
Keseriusannya dalam pendidikan agama untuk membuktikan kepada almarhum kalau dirinya dapat menjadi anak paham agama.
Mentari mulai terbenam, hamparan sawah satu persatu ditinggal empunya. Speaker Masjid Muniroh mulai berbunyi. Kumandang adzan Magrib menggantung syahdu di langit Klaten, berkawan kenangan manis Fatimah yang masih terisak. Sudah saatnya kami pamit.
Tangisnya sudah mereda. Senyumnya mulai tersimpul. Sudah hampir sebulan, ia mulai menata kembali keceriaanya yang dulu tak kuasa menahan tangis hebat begitu ayahnya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Mungkin, hanya ada satu janji Siyono yang masih belum tertunai.
“Aku ingat janji abi ingin membelikan sandal Eiger,” ucapnya haru, sampai membasuh matanya yang kembali berair.
Kini, janji Siyono memang tak tertunaikan. Sandal Eiger hadiah sang Ayah hanya tinggal impian. Tapi, Fatimah berjanji akan selalu mengamalkan nasehat terakhir sang Ayah, berjuang meneruskan perjuangannya, agar menjadi seorang gulu kelak, dan menjadi muslimah yang paham agama. Walau sang Ayah tinggal kenangan, cita-cita gadis belia ini tak akan padam.
“Jangan lupa belajar. Sholat tepat waktu ya nak. Tidak pinter ga apa-apa, yang penting kamu paham agama,” kenang Fatimah, mengulang nasehat yang rupanya menjadi nasehat terakhir sang Abi. [TM]