JAKARTA, (Panjimas.com) – Hak untuk tidak disiksa adalah hak kedua yang disebutkan setelah hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hal tersebut berarti bahwa dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan perang, sengketa senjata, maupun keadaan darurat, setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa oleh siapapun baik negara, pemerintah, dan atau anggota masyarakat sekalipun.
Namun sangat disayangkan dalam beberapa kesaksian tersangka dan terduga teroris, Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) selaku aparatur negara memanfaatkan waktu penahanan selama 7×24 jam untuk mendapatkan bukti dengan jalan kekerasan. Hal tersebut disampaikan oleh Muhammad Jibril, tersangka penyandang dana pengeboman Hotel JW-Marriot dan Ritz-Carlton dalam persidangannya yang mengaku disiksa pada empat hari pertama masa penahanan, dan ditelanjangi.
Terdapat pula kesaksian keluarga tersangka Abdul Hamid yang hadir saat memberikan kesaksian atas kasus Abu Bakar Baasyir, bahwa tersangka Abdul Hamid menjadi lumpuh pada kedua kakinya dan babak belur setelah dipukuli oleh Densus 88 dalam masa penahanan. Dan kasus salah tangkap yang dilakukan oleh Densus 88 di Kab. Poso pada 20 Desember 2012 yang mengakibatkan para korban luka-luka akibat dipukuli hingga pingsan, disetrum, dan diseret di aspal. Baru-baru ini muncul kasus Alm. Siyono yang ditangkap pada Selasa, 8 Maret 2016 dan dikembalikan pada Jumat, 11 Maret 2016 dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Terduga dan tersangka teroris dalam hal ini juga memiliki beberapa hak yang tetap harus dipenuhi, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang, hak diperlakukan sama di hadapan hukum, hak didampingi kuasa hukum, dan hak-hak lainnya.
Terkait hal itu, Salam UI 19 (Lembaga Dakwah Kampus Nasional Nuansa Islam Mahasiswa Universitas Indonesia) sebagai bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia memberikan pernyataan sikapnya.
Menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan Densus 88 terhadap terduga Teroris. Menuntut DPR RI memanggil Kapolri untuk memberikan klarifikasi terkait SOP Densus 88.
“Turunkan Kepala Densus 88, Kombes Eddy Hartono, sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakan pelanggaran HAM oleh Densus 88.” ujar Ketua Salam UI 19, Rangga Kusumo melalui releasenya Rabu, (6/4/2016).
Selanjutnya Salam UI juga meminta DPR RI untuk meninjau ulang pasal-pasal pada draft RUU Anti Terorisme yang bertentangan dengan kebebasan HAM dan meninjau ulang permohonan kenaikan anggaran Densus 88. [RN]