NEW YORK, (Panjimas.com) – Human Rights Watch (HRW), Harii Rabu (30/03/2016) mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakhiri “pembatasan hak dan perlakuan kasar” pada minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Pernyataan dari organisasi-organisasi LSM internasional datang kepada Presiden Myanmar Htin Kyaw yang baru dilantik pada Rabu pagi (30/03/2016) sebagai Presiden sipil pertama Myanmar selama lebih dari 50 tahun pada upacara pelantikan yang diadakan di Parlemen Myanmar di Nay Pyi Taw, dilansir oleh Business Standard.
Serah terima pemerintahan baru Myanmar ini dipenuhi dengan drama politik setelah pada hari Senin (28/03/2016) terjadi perseteruan di Parlemen antara Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi dengan Partai Nasional Arakan (ANP) yang memiliki suara mayoritas di Rakhine terkait pembentukan Kabinet, hanya beberapa jam sebelum meletakkan jabatannya, Presiden Thein Sein pada hari Selasa (29/03/2016) membuat langkah mengejutkan dengan mencabut status keadaan darurat yang sebelumnya telah diberlakukan di Rakhine sejak 2012, akibat kekerasan sektarian antara umat Buddha dan Muslim.
“Pencabutan Status darurat Arakan pada menit-menit terakhir oleh Presiden Thein Sein menempatkan pemerintah baru pada pijakan kuat untuk memastikan kebebasan mendasar untuk minoritas Muslim Rohingya yang telah lama dianiaya,” Efe dikutip Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Baca: Mendadak, Presiden Thein Sein Cabut Status Darurat di Rakhine, Provinsi Mayoritas Muslim Rohingya
Perintah itu datang setelah pemerintah daerah setempat menyatakan dalam laporannya bahwa ketegangan antara dua kelompok agama [Buddha-Islam] tidak lagi menimbulkan ancaman bagi masyarakat setempat, demikian mengutip New Light of Myanmar Daily hari Selasa (29/03/2016).
“Sekarang ini semua terserah kepada pemerintah baru untuk bekerja dengan para pejabat lokal dan aparat keamanan untuk memastikan bahwa dengan mengakhiri status keadaan darurat dapat diterjemahkan menjadi kerja nyata untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak semua orang negara,” tambahnya.
Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 orang, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.
Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Baca: Keterlaluan! Biksu Ektrimis Wirathu Hasut Pemerintah Myanmar Larang Masjid Adakan Kegiatan Keagamaan
Mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sering mengalami penahanan sewenang-wenang dan perpajakan, kerja paksa, dan penyitaan properti, demikian menurut laporan Human Rights Watch (HRW).
Baca: Masa Depan tak Menentu bagi Muslim Rohingya
“Status Keadaan darurat hanyalah satu elemen dari tindakan represif aparatur negara yang secara efektif memisahkan penduduk Muslim Rohingya dan menolak akses layanan dasar kepada mereka. Menghapus langkah-langkah kejam yang dibutuhkan ini diperlukan untuk mencapai resolusi jangka panjang dari krisis Rohingya, yang tentunya akan mempengaruhi masa depan semua orang di Negara Arakan , kata “Robertson menekankan. [IZ]