YANGOON, (Panjimas.com) – Presiden Myanmar Thein Sein, mengambil sebuah langkah mengejutkan hanya beberapa jam sebelum ia meletakkan jabatannya sebagai Presiden, secara mendadak ia mencabut status keadaan darurat di negara bagian barat Rakhine yang bergolak, setelah bentrokan panjang nan melelahkan antara umat Buddha dan minoritas Muslim Rohingya di tahun 2012, dilansir oleh Reuters.
Thein Sein mengumumkan langkah mengejutkan ini melalui media milik pemerintah, pada hari Selasa (29/03/2016), hanya sehari sebelum Presiden Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi akan disumpah dalam serah terima resmi kenegaraan, setelah NLD menang telak dalam pemilu 8 November tahun lalu.
Walaupun tidak ada bentrokan besar yang terjadi di provinsi Rakhine dalam dua tahun terakhir, sebagian besar penduduk Myanmar, khususnya 1,1 juta Muslim Rohingya tetap menderita tanpa diakui kewarganegaraannya dan mereka juga hidup dalam kondisi perlakuan diskriminasi apartheid. Muslim Rohingya tidak mendapatkan hak kewarganegaraan dan telah lama mengeluhkan diskriminasi yang disengaja dan direstui negara mayoritas pemeluk Budha itu. [IZ]
Baca: Masa Depan tak Menentu bagi Muslim Rohingya
“Hal ini ditemukan dari laporan pemerintah negara bagian Rakhine bahwa situasi di negara bagian Rakhine tidak lagi menimbulkan kondisi membahayakan bagi kehidupan penduduknya dan properti milik mereka ” demikian tertera dalam peraturan yang ditandatangani oleh Thein Sein.
Partai NLD yang dipimpin Daw Aung San Suu Kyi tidak memegang suara mayoritas di Rakhine pada hari Senin (28/03/2016) telah terlibat dalam pertengkaran sengit dengan Partai Nasional Arakan (ANP) terkait pembentukan kabinet negara, mengutip laporan Myanmar Times.
Pemerintah telah berulang kali membantah mendorong diskriminasi atau memicu ketegangan, sementara organisasi-organisasi internasional telah mengecam kondisi penderitaan Rohingya yang diawasi sangat ketat dengan pemberian fasilitas kesehatan secara terbatas dan kesempatan pendidikan di kamp-kamp pengungsian.
Situasi yang mudah tersulut ini menimbulkan tantangan besar bagi pemerintahan yang dipimpin NLD, terutama setelah perseteruan dengan faksi nasionalis ANP yang memiliki suara mayoritas di negara bagian Rakhine Hluttaw. NLD sebagian besar berusaha untuk menghindari isu-isu sensitif di Rakhine.
U Nyi Pu, Anggota Menteri dan Kepala negara bagian Rakhine untuk NLD, hari Selasa (29/03/2016) berbicara mendukung pencabutan status situasi darurat Rakhine, dan mengatakan kebijakan itu dapat mengurangi keresahan politik.
“Dalam rangka membangun negara, dibutuhkan memfungsikan kondisi tanpa keadaan darurat dan orang-orang perlu diizinkan untuk melakukan perjalanan dengan bebas,” katanya, mengutip laporan Myanmar Times.
Ko Kyaw Lin Oo, seorang analis politik, mengatakan bahwa keputusan menit terakhir Presiden U Thein Sein mencabut status darurat Rakhine tidak berarti bahwa NLD atau faksi kekuatan militer tidak akan mencoba untuk kembali memberlakukan kebijakan itu.
“Kita perlu menunggu dan melihat bagaimana pemerintah baru menerapkan tatanan politik. Hubungan militer dan sipil penting di sana, “katanya, dilansir oleh Myanmar Times.
bagaimana pencabutan status keadaan darurat akan berdampak pada kondisi Rakhine pada tataran praktis masih belum jelas.
Pemerintah belum menjelaskan apakah perintah jam malam terpisah, yang diberlakukan KUHAP (code of criminal procedure), tetap diterapkan.
Menurut Konstitusi tahun 2008, Presiden memiliki kewenangan untuk menerapkan atau mencabut status keadaan darurat. pemaksaan pemerintahan militer bersama dengan status keadaan darurat juga tergantung pada kebijaksanaan presiden. Ketentuan darurat memberikan presiden hak untuk membatasi hak-hak warga yang dianggap perlu.
Walau, tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Dalam pemilu bulan November tahun lalu, Muslim Rohingya dilarang berpartisipasi baik sebagai pemilih maupun sebagai calon. Sebelum pemilu, bahkan ketegangan Buddha-Islam sangat tinggi, apalagi dengan kebijakan NLD yang memutuskan untuk tidak mengajukan calon Muslim pada daftar lebih dari 1.100 kandidat dalam pemilu.
Baca: Pemimpin Kelompok Radikal Buddhis: Hentikan Penyebaran Muslim di Myanmar
Selain itu ketegangan antara umat Buddha-Islam di Myanmar juga dipicu oleh propaganda dan hasutan dari kelompok nasionalis ektrimis Buddha Ma Ba Tha, bahkan salah satu tokohnya Ashin Wirathu telah diberi gelar majalah Time sebagai “The Face of Buddhist Terror” (wajah teroris Buddha).
Baca: Keterlaluan! Biksu Ektrimis Wirathu Hasut Pemerintah Myanmar Larang Masjid Adakan Kegiatan Keagamaan
Rohingya secara luas tidak disukai oleh pemerintah Myanmar, di mana mereka dilihat sebagai imigran ilegal dari Bangladesh – termasuk juga oleh beberapa pejabat di partai NLD Aung San Suu Kyi. Sikap diam dan ambigu dari Aung San Suu Kyi yang diberi nobel perdamaian hingga kini juga memicu protes kalangan internasional.
Ketegangan meningkat antara Partai liga Nasional untuk Demokarsi (NLD) dan Partai Nasional Arakan (ANP) yang di berbasis Rakhine, yang merupakan salah satu Partai etnis yang paling vokal di Myanmar. Anggota Parlemen ANP melakukan aksi (walk out) dari Parlemen, hari Senin (28/03/2016) dengan mengenakan stiker hitam pada jaket mereka, karena NLD menolak posisi mereka dalam Kabinet.
Awal bulan ini, pelapor khusus PBB yang ditunjuk untuk masalah hak asasi manusia di Myanmar menyarankan bahwa dalam 100 hari setelah dilantik pemerintah baru harus menghapus pembatasan-pembatasan yang membatasi lebih dari 100.000 Muslim Rohingya apalagi dengan memburuknya kamp-kamp pengungsian.
Namun, NLD belum secara terbuka menanggapi rekomendasi PBB ini.
Akibatnya, sekitar 25.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan kamp-kamp pengungsian dan kembali ke masyarakat, PBB mengatakan pekan lalu, dengan jumlah orang di kamp-kamp telah menurun menjadi sekitar 120.000 orang dari 145.000 sebelumnya.[IZ]