YANGOON, (Panjimas.com) – Masyarakat internasional beberapa hari lalu dikejutkan oleh langkah mendadak Presiden Myanmar Thein Sein hari Selasa (29/03.2016), hanya beberapa jam sebelum ia meletakkan jabatan esok harinya Rabu (30/03/2016). Pencabutan status keadaan darurat di negara bagian Rakhine yang dihuni oleh minoritas Muslim Rohingya tentunya mengejutkan banyak pihak apalagi, belum jelas maksud dan bagaimana manfaat kedepan bagi minoritas Muslim Rohingya.
Awal bulan ini, pelapor khusus PBB yang ditunjuk untuk masalah hak asasi manusia di Myanmar mendesak bahwa dalam 100 hari setelah dilantik pemerintahan baru Myanmar harus menghapus pembatasan-pembatasan yang membatasi lebih dari 100.000 Muslim Rohingya apalagi dengan memburuknya kamp-kamp pengungsian.
Namun, NLD belum secara terbuka menanggapi rekomendasi PBB ini.
Thein Sein mengumumkan langkah mengejutkan ini melalui media milik pemerintah, pada hari Selasa (29/03/2016), hanya sehari sebelum Presiden Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi akan disumpah dalam serah terima resmi kenegaraan, setelah NLD menang telak dalam pemilu 8 November tahun lalu.
Partai NLD yang dipimpin Daw Aung San Suu Kyi tidak memegang suara mayoritas di Rakhine pada hari Senin (28/03/2016) telah terlibat dalam pertengkaran sengit dengan Partai Nasional Arakan (ANP) terkait pembentukan kabinet negara, mengutip laporan Myanmar Times.
Situasi yang mudah tersulut ini menimbulkan tantangan besar bagi pemerintahan yang dipimpin NLD, terutama setelah perseteruan dengan faksi nasionalis ANP yang memiliki suara mayoritas di negara bagian Rakhine Hluttaw. NLD sebagian besar berusaha untuk menghindari isu-isu sensitif di Rakhine.
Ko Kyaw Lin Oo, seorang analis politik Myanmar, mengatakan bahwa keputusan menit terakhir Presiden U Thein Sein mencabut status darurat Rakhine tidak berarti bahwa NLD atau faksi kekuatan militer tidak akan mencoba untuk kembali memberlakukan kebijakan itu.
“Kita perlu menunggu dan melihat bagaimana pemerintah baru menerapkan tatanan politik. Hubungan militer dan sipil penting di sana, “katanya, dilansir oleh Myanmar Times.
bagaimana pencabutan status keadaan darurat akan berdampak pada kondisi Rakhine pada tataran praktis masih belum jelas.
Pemerintah belum menjelaskan apakah perintah jam malam terpisah, yang diberlakukan KUHAP (code of criminal procedure), tetap diterapkan.
Menurut Konstitusi tahun 2008, Presiden memiliki kewenangan untuk menerapkan atau mencabut status keadaan darurat. pemaksaan pemerintahan militer bersama dengan status keadaan darurat juga tergantung pada kebijaksanaan presiden. Ketentuan darurat memberikan presiden hak untuk membatasi hak-hak warga yang dianggap perlu.
Bagaimanapun, pemberlakuan jam malam terikat kepada kantor pemerintahan daerah, dan administrator yang memiliki kewenangan untuk mencabut atau mempertahankannya di tempat itu.
Setelah konflik 2012, sebagian besar bagian utara negara bagian Rakhine, termasuk ibukota negara bagian Sittwe, menerapkan jam malam dari senja hingga fajar yang diberlakukan sejak dua tahun lalu. Tetapi, pengawasan ketat malam hari masih berlaku di Buthidaung dan Maungdaw, di mana tampaknya hanya ada sedikit dorongan untuk menghapusnya dari para penduduk lokal – baik Buddha ataupun Muslim – yang mengatakan bahawa mereka takut dan khawatir akan bangkitnya kerusuhan.
Pengacara U Ko Ni mengatakan jika pemerintah daerah ingin tetap menerapkan jam malam, mereka dapat terus melakukannya tanpa ketentuan status keadaan darurat.
U Than Shwe, pejabat kotapraja Buthidaung, mengatakan tidak ada rencana untuk segera mencabut penerapan jam malam, dan ia menegaskan bahwa itu tidak terkait dengan status keadaan darurat.
U Hla Myint, seorang Pemimpin etnis Rakhine dari kota Maungdaw, mengatakan dia belum mendengar adanya perubahan pada penerapan jam malam, dan berpikir itu tidak seharusnya dihapuskan.
“Tidak ada yang bisa mengatakan apakah masalah antara kedua masyarakat [Buddha-Muslim] akan terjadi lagi atau tidak setelah jam malam dicabut,” katanya. “Kami khawatir tentang aksi pencurian di malam hari bahkan jika sekarang dengan jam malam. Jadi kekhawatiran akan meningkat jika jam malam dicabut ”
U Kyaw Min, Kepala bidang Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dari Partai yang anggotanya mengidentifikasi diri sebagai Muslim Rohingya, mengatakan bahwa pencabutan keadaan darurat adalah langkah positif, akan tetapi mempertanyakan apa artinya bagi pengungsi dan masyarakat Muslim.
“Kami ingin kondisi yang lebih baik dengan status keadaan darurat dicabut, seperti pernyataan Presiden yang mengatakan, tidak ada lagi ancaman bagi kehidupan masyarakat,” katanya.[IZ]