JAKARTA, (Panjimas.com) – Usulan pedekatan negoisasi terhadap Mujahidin Idonesia Timur pimpinan Santoso mengemuka. Pendapat tersebut disampaikan oleh Pengamat Terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak . Hal ini bisa dirujuk kepada negosiasi yang dilakukan kepada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah meletakkan senjatanya Din Minimi.
“Seperti kasus Din Minimi di Aceh itu kan seharusnya untuk Santoso ini bisa bernegosiasi juga. Minta dia menyerahkan seluruh senjatanya yang dia miliki dan mengerahkan mobilisasi anak buahnya agar kuat kepada NKRI,” kata Zaki, Kamis (24/3/2016). Seperti dilansir okezone.
Menurut Zaki ruang negosiasi kepada Santoso masih bisa terbuka. Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam hal ini.
“Menurut beberapa kawan saya di sana (Poso) ruang itu masih terbuka dan digunakan dua mekanisme. Pertama soft approach itu, dengan cara membuka ruang negosiasi agar dia menyerahkan diri dan menyatakan setia kepada NKRI. Kedua, kalau memang tidak bisa ya cara yang kasar yakni tindakan militer. Intinya diperlukan penyelesaian yang cepat,” kata dia.
Dengan masuknya Santoso dalam daftar teroris paling dicari oleh Amerika Serikat, tentunya hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah Indonesia untuk berbenah.
“Yang terjadi pemerintah dipermalukan oleh ini dan seperti tidak menangani Santoso sehingga Amerika memunculkan Santoso sebagai sosok yang tidak bisa diselesaikan pemerintah,” pungkasnya.
Seperti yang diketahui sepanjang 2015 Polri telah melakukan operasi Camar Maleo I hingga IV. Namun sepanjang 2015 Santoso belum berhasil ditangkap padahal sudah menyertakan TNI dalam operasi perburuan tersebut.
Operasi tersebut diperpanjang pada 2016 dan berganti nama 10 Januari 2016 menjadi Operasi Tinombala. Operasi Tinombala I berakhir 9 Maret 2016 dan diperpanjang dengan nama Operasi Tinombala II. Bahkan Komando Pasukan Khusus (Kopasus) diturunkan untuk memburu Santoso. [RN]