WASHINGTON, (Panjimas.com) – Tidak ada rencana kerjasama militer AS-Rusia untuk merebut kembali ibukota Islamic State(IS) Raqqa dan kota Palmyra, demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS, John Kirby, hari Senin (14/03/2016), dilansir oleh Anadolu Agency.
Pernyataan juru bicara Departemen Luar Negeri AS ini adalah tanggapan resmi terhadap pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, Minggu kemarin, bahwa : ”Rusia menyatakan siap untuk mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka dengan koalisi pimpinan AS di Suriah untuk mengalahkan kelompok Islamic State (IS) di Raqqa, Suriah, demikian menurut laporan Interfax.
“Setidaknya, kami sadar, tidak ada rencana kerjasama militer untuk pembagian kerja dengan parameter geografis seperti yang disarankan oleh Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri John Kirby.
“Kami melihat tidak ada indikasi bahwa hal itu akan [berlangsung].” Jelas Kirby di Washington.
Komentar Kirby datang selang satu hari setelah laporan yang diterbitkan Interfax yang mengklaim bahwa pihak Rusia siap untuk berkoordinasi dengan AS untuk merebut kembali Raqqa dan Palmyra dari kelompok Islamic State (IS).
“Mungkin, ini bukan rahasia, jika saya mengatakan bahwa pada tahap tertentu Amerika menyarankan kami untuk melakukan ‘pembagian kerja’: Angkatan Udara Rusia harus berkonsentrasi pada pembebasan Palmyra, dan koalisi Amerika dengan dukungan Rusia akan fokus pada pembebasan Raqqa, “tambah Menteri Luar Negeri Rusia itu, mengutip laporan Interfax seperti dilansir Reuters.
“Amerika bahkan menyarankan pada kami, mari kita membagi tugas : Anda, Angkatan Udara Rusia, berkonsentrasi untuk membebaskan Palmyra, dan kami koalisi Amerika akan berkonsentrasi untuk membebaskan Raqqa,” kata Menlu Rusia, Sergey Lavrov mengutip Intrefax.
“Kami siap untuk mengkoordinasikan tindakan kami dengan Amerika, karena Raqqa terketak di bagian timur Suriah, dan koalisi Amerika terutama … bertindak di sana,” lansir Interfax mengutip pernyataan Sergei Lavrov dalam wawancara khusus dengan saluran televise Rusia, Ren-TV .
Sejak Rusia memulai serangan udara di Suriah pada akhir September, AS telah menuntut Moskow mendukung koalisi pimpinan AS untuk menyerang Islamic State (IS). Pihak Rusia telah menolak dan terus mendukung rezim Syiah Nushairiyah Bashar al-Assad, bahkan menargetkan pasukan oposisi Suriah.
Ketikai negosiasi di Jenewa dimulai kembali hari Senin (14/03/2016) dalam upaya untuk menemukan peta jalan untuk solusi politik di Suriah, Presiden Rusia Vladimir Putin membuat pengumuman mengejutkan dan memerintahkan penarikan sebagian pasukan militer dari Suriah, Putin bahkan mengatakan dirinya berharap langkah tersebut akan memberikan kontribusi untuk hasil yang sukses dari pembicaraan yang dipimpin PBB.
Ketika ditanya apakah AS telah melihat indikasi bahwa Rusia dan rezim Suriah telah mengubah serangan-serangan mereka setelah kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku, John Kirby mengatakan pesawat tempur Rusia saat ini beroperasi “lebih jarang” di Suriah.
“Tanpa pertanyaan, kita telah melihat perubahan dalam aktivitas militer Rusia dan operasi udara Rusia sejak kesepakatan… mereka telah membuat upaya-upaya untuk mematuhi kesepakatan gencatan senjata,” katanya.
Kesepakatan penghentian permusuhan menetapkan bahwa semua pihak harus mengakhiri serangan udara, kecuali terhadap Islamic State (IS) dan Jabhat al Nusra, afiliasi Al-Qaeda di Suriah.
Akan tetapi sumber-sumber lokal Suriah telah mengklaim bahwa pasukan rezim Assad terus menyerang posisi-posisi pihak oposisi meskipun perjanjian telah mulai berlaku.
Setidaknya ada sebanyak 477 pelanggaran dari kesepakatan tersebut telah direkam sejak kesepakatan penghentian permusuhan mulai berlaku, demikian menurut laporan Syrian Network for Human Rights (SNHR), Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia. [IZ]