SOLO, (Panjimas.com) – Melalui aksi yang digelar di Bundaran Gladag Jl Slamet Riyadi, ribuan masyarakat Solo turun ke jalan menuntut agar Densus 88 untuk segera dibubarkan. Selain memberikan pernyataan sikapnya masyarakat Solo yang tergabung dalam Konas (Komunitas Nahi Mungkar Surakarta) juga berkirim surat ke Presiden Joko Widodo.
“Bersama surat ini kami sampaikan kepada Presiden Republik Indonesia H. Ir. Joko Widodo bahwa berdasarkan data dari Komnas HAM bahwa terdapat 118 orang yang telah meninggal dunia ditangan Densus 88, berita terkini adalah kematian Siyono warga Cawas Klaten yang meninggal dunia dengan luka luka pada tubuhnya bekas penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88.” Ungkap Cak Rowi Selasa, (15/3/2016).
Pembunuhan tanpa didasari putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk kategori pelanggaran HAM berat yang sering dilakukan oleh Densus 88.
“Untuk itu atas dasar untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk menjaga jiwa dan nyawa serta kehormatan umat Islam di Indonesia maka dengan ini Komunitas Nahi Munkar Surakarta (KONAS) meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Densus 88.” Tegasnya.
Adapun pertimbangan pembubaran Densus 88 didasari oleh fakta fakta tentang Densus 88 adalah sebagai berikut bahwa:
- Densus 88 disponsori dan dilatih negara barat untuk kepentingan Amerika dan Australia dalam memerangi aktivis Muslim dan gerakan Islam di Indonesia
- Target operasi Densus88 sebagian besar adalah Ulama Dan Aktivis Masjid.
- Densus 88 mengabaikan asas praduga tak bersalah, Densus 88 sering menembak mati seseorang yang statusnya baru terduga, tanpa adanya putusan pengadilan. Korban yang ditembak mati Densus 88 meninggal Dengan Luka Tembak Yang mengenaskan.
- Densus 88 sering menembak mati seseorang yang sama sekali tidak terkait dengan kasus terorisme.
- Densus 88 juga sering salah tangkap seseorang yang akhirnya dipulangkan tanpa ada permintaan maaf, rehabilitasi maupun kompensasi.
- Sebagian besar tersangka teroris tidak diberikan haknya dalam memilih pengacara.
- Dalam kurun waktu 7×24 jam sering terjadi penganiayaan, penyiksaan dan tekanan secara fisik dan psikis terhadap tersangka teroris oleh Densus 88 yang mengakibatkan luka ringan, luka berat, luka permanen dan menyebabkan trauma korban, bahkan ada yang berakhir dengan kematian..
- Densus 88 sering melakukan aksi arogansi terhadap keluarga terorisme terlebih kepada anak–anak.
- Densus 88 sering memperlambat pemulangan jenazah yang statusnya baru terduga terorisme. Sehingga pemakaman jenazah yang semestinya menurut hukum agama Islam disegerakan menjadi tertunda.
- Densus 88 diskriminatif, kasus penembakan di Papua yang mengakibatkan meninggalnya anggota TNI/Polri justru tidak ditindak.
- Oknum Densus yang merusak, membunuh, menyiksa dan menganiaya terduga teroris belum pernah diadili di pengadilan umum. [RN]