KLATEN (Panjimas.com) – Marso Diyono (61 tahun) tampak traumatis. Ini ditunjukkan ketika kedatangan tamu yang tak dikenal. Lelaki warga Dukuh Brengkungan RT 11, RW 05, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jateng ini, langsung lari terbirit-birit.
”Mboten pak, mboten pak. Kula mboten ngertos (tidak pak, tidak pak. Saya tidak tahu,” ujar dia ketika ditemui Republika bersama petugas Polsek Cawas, Klaten, Sabtu (12/3).
Tapi ketika tahu salah satu dari orang yang datang adalah anggota Polsek, Marso Diyono langsung memeluknya. Kakek itu kemudian menangis sesenggukkan. Ia minta maaf jika ada kesalahan yang dilakukan dan diperbuat anaknya, Siyono (33), lelaki yang diduga meneror dan tewas setelah dibawa petugas.
Hingga akhir pekan kemarin, seluruh anggota keluarga Marso Diyono, seperti tak terjadi apa-apa. Anak bungsunya, Siyono dijemput petugas Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror 88, Selasa (8/3), lalu. Dua hari kemudian, dilakukan penggledahan rumah Marso Diyono yang dijadikan sekolah Rouddatul Athfal Terpadu (RAT) Amanah Ummah.
Penjemputan petugas Densus 88 Anti Teror itu, ternyata hari terakhir pertemuan Marso dengan putranya. ”Innalillahi wa innailaihi roji’un.Anak saya katanya sudah meninggal,” kata Marso Diyono menangis senggukan.
Kabar meninggalnya suami Sri Muryani diterima dari Wagiyono (38). Ia anak sulung Marso Diyono, atau kakak kandung Siyono. Dia kebetulan menjabat Ketua RT 11, RW 05, Dukung Brengkungan, Desa Pogung. Wagiyono memberi kabar ihwal kematian Siyono lewat telepon genggam.
Wagiyono, Sri Muryani (isteri Siyono), Ngadiman (Kepala Dusun) Brengkungan, dibawa ke Jakarta. Kepala Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Joko Widoyo, menyusul naik pesawat. Ini untuk meyakinkan jenazah yang meninggal di RS Bhayangkara itu jasad Siyono.
Kebenaran kematian Siyono juga disampaikan Joko Diyono. Ia menyampaikan berita duka ini kepada Kapolsek Cawas, AKP Totok MG. ”Ya, tadi baru saja Pak Kades Pogung telepon saya. Dia mengabarkan kalau Siyono meninggal. Berita baru sebatas itu,” katanya.
Tidak banyak informasi tentang kematian Siyono. Kades Pogung Joko Diyono hanya menyampaikan berita duka. Soal keberangkatan jenazah jam berapa dibawa pulang, juga belum jelas. Yang jelas, jenazah almarhum diangkut mobil ambulance ditemani Wagiyono, Ngadiman, dan Sri Muryani.
Suasana kampung Brengkungan tak ada tanda-tanda duka. Tetangga dekat sekalipun, tak ada yang tahu. Kebanyakan warga kampung pelosok yang sebagian warga petani dan buruh tani itu sedang berada diladang. Rumah dukapun sepi. Marso Diyono ‘sembunyi’ di rumah Wagiyono.
Soal pemakaman, Marso Diyono, langsung memilih pemakaman umum Dukuh Brengkungan. Ia meyakini tak ada yang mempersoalkan hal ini. Petugas kepolisian juga mencoba mengamankan soal pilihan lokasi makam, agar tidak ada protes dari warga lain.
Meski begitu, keluarga Marso Diyono tak faham betul masalah penangkapan Siyono hingga menyebabkan kematian itu. Apalagi, ia dikaitkan dengan pelaku teroris. ”Saya ini orang bodoh. Tidak tahu angka dan tulis. Handphone saja tidak mudheng (tak faham) cara memakainya,” katanya.
Marso Diyono baru sadar, kalau tindakan penggeledahan di rumahnya dikaitkan dengan dugaan teroris. Ada beberapa barang yang disita. Seperti, fotokopi KTP, kartu keluarga milik Siyono, dan sepeda motor Siyono berpelat nomor B (Jakarta).
Menurutnya, seusai shalat magrib di Masjid Muniroh, samping rumah, Selasa (8/3), ada tiga pria yang pergi bersama Siyono. Ia tidak curiga jika ketiganya anggota Densus 88 Anti Teror. Sebab, Siyono sering mengajak temannya ke rumah.
Ada satu orang yang masuk ke dalam masjid. Ternyata, orang itu tidak shalat. Dia, malah kentut bersamaan dengan bunyi dari telepon seluler yang membuat jamaah lain tertawa. Lalu, pria itu keluar masjid.
”Pikir saya pasti hendak wudhu lagi. Tapi, ternyata dia menelepon dua teman yang di luar. Setelah itu, Siyono yang masih mengenakan sarung, bersama tiga orang yang saya sangka temannya itu pergi,” kata Marso Diyono.
Cerita serupa juga datang dari putra pertama Marso, Wagiyono, yang juga ketua RT 11 Rw 05, Dusun Brengkungan, Desa Pogung. Dia tidak menduga, ketiga pria itu merupakan anggota satuan berlogo burung hantu. ”Saat penggeledahan kemarin, saya tanyakan kondisinya dan dibawa kemana. Jawabnya, Densus. Cuma ada masalah kecil. Kondisinya baik dan berada di tempat paling aman di Jakarta,” kata Wagiyono menirukan kata petugas itu.
Wagiyono mengaku belum mengetahui alasan Densus 88 Anti Teror menangkap adiknya dan penggeledahan rumah ayahnya. Saat itu ia berharap Siyono hanyalah korban salah tangkap. ”Kalau diduga teroris, mana buktinya. Siyono itu orangnya lugu. Tidak macam-macam orangnya,” katanya. [AW/ROL]