PANJIMAS.COM – Demo penolakan Gereja Santa Clara terus berlanjut. Sejumlah Ulama dan Umat Islam Bekasi yang tergabung dalam Majelis Silaturahmi Umat Islam Bekasi mendatangi Pemkot guna meminta pertanggung jawaban Walikota Bekasi, Rahmat Efendi, yang tetap memaksakan memberi izin pembangunan gereja santa clara (GSC)
Padahal, dipertemuan sebelumnya, 10 Agustus 2015, Walikota berjanji akan meninjau ulang perizinan GSC. Selama peninjauan ulang tersebut telah disepakati untuk tidak melanjutkan pembangunan. Namun, ternyata Pihak GSC “ngeyel” dan tetap melanjutkan pembangunan sehingga membuat beberapa warga sekitar lokasi merasa geram dan melaporkan apa yang mereka saksikan kepada beberapa Tokoh setempat.
Mendapat laporan dari beberapa warga, Beberapa Tokoh Masyarakat itu pun kembali mendatangi Walikota Bekasi untuk menyampaikan protesnya dan mengingatkan tentang kesepakatan yang telah dibuat dipertemuan sebelumnya. Diluar dugaan, sang walikota justru mengatakan bahwa keputusan sudah final dan pembangunan GSC akan terus berlanjut. Bahkan dengan nada pongah sang walikota pun berkata: “Walaupun kalian tembak kepala saya, saya tetap tidak akan cabut izin GSC.”
Karena mereka merasa telah dikhianati oleh Sang Walikota, spontan para tokoh masyarakat tersebut pun geram, padahal, Pemalsuan data, bertentangan dengan kearifan lokal jelas jelas terlihat disana. Akhirnya mereka pun kembali mendatangi Pemkot pada Senin, 7 maret 2016 kemarin.
Perlu diketahui, bahwa lokasi GSC terletak di tengah tengah Pondok Pondok Pesantren yang telah lama berdiri disana. Diantaranya, Pondok Pesantren At Taqwa yang didirikan oleh KH Nur Ali (Ulama dan Pahlawan Nasional), Pondok Pesantren Al-Mukhtar yang didirikan oleh KH Mukhtar Tabrani (Ulama Betawi), Pondok Pesantren An-Nur, Pondok Pesantren An-Nida dan lain lain. Apakah itu tidak bertentangan dengan kearifan lokal?
Bukankah Kearifan Lokal salah satu SYARAT yang harus dipenuhi untuk membangun tempat ibadah, sebagaimana yang telah disepakati dan diatur dalam SKB 2 Menteri?
Dan warga katolik disekitar Lokasi Pembangunan GSC pun terhitung jari. Lalu darimana jumlah 60 KTP kepala keluarga yang mereka dapatkan sebagai salah satu syarat pendirian tempat Ibadat? Bukankah itu jelas jelas pemalsuan data?
Apakah Walikota bekasi tidak paham hal itu?
Apakah Pendiri GSC tidak mengerti aturan itu?
Bisa jadi, andaikata ada masjid yang dibangun dengan cara seperti ini di Tolikara, kemungkinan besar akan rata dibakar massa.
Namun, berbeda dengan Bekasi. Masyarakat Bekasi yang mayoritas muslim masih tahu diri, mereka bukan Barbar yang main bakar. Mereka dengan sabar tetap menempuh prosedur yang ada. Mereka datangi Pemkot guna mengingatkan sang walikota akan kekeliruannya dalam memberikan izin.
Apakah cara seperti itu anarkis…?
Apakah cara seperti itu melanggar hukum…?
Mari berpikir dengan objektif dan jernih, siapakah yang sesungguhnya intoleransi dan melanggar hukum! [AW/FPI]