JAKARTA (Panjimas.com) – “Kenapa KPK mandul ketika berhadapan dengan kasus “Ibu Kota Jakarta”, padahal di daerah itu meski tidak ada hasil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun yang secara undang-undang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan ada indikasi pidana atau tidak itu biasanya aparat hukum di daerah langsung bekerja,” ujar Munarman. (Baca: Ulama Menyayangkan KPK Mandul Soal Korupsi Ahok)
Tetapi, lanjut Munarman, BPK ini ada mandat undang-undangnya, dia bisa menentukan adanya suatu indikasi pelanggaran hukum pidana, dan itu menjadi wajib ditindaklanjuti karena hasil audit BPK inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengenai kerugian negara.
“Dan kerugian negara dalam hal ini tidak hanya kasus RS Sumber Waras yang 191 miliar, tetapi ada beberapa kasus lain yang total kerugiannya yang langsung dilakukan oleh Plt Gubernur pada waktu itu (Ahok) lebih kurang totalnya 1,8 triliun, jadi ini adalah grand corruption (korupsi tingkat tinggi) sebetulnya,” kata dia.
“Jadi aneh bagi kita, kalau nilainya sampai 1,8 triliun ini tidak dianggap oleh KPK sebagai temuan yang berharga untuk membersihkan negara ini dari korupsi,” tambahnya.
Menurut petinggi Front Pembela Islam (FPI) ini, pihaknya sudah tiga kali mendatangi KPK untuk menanyakan proses hukum kasus tersebut. “Dan para ulama dari Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) nanti akan mendatangi kembali KPK untuk menanyakan hal yang sama,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kata Munarman, dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPR tersebut, para ulama ingin mengajak DPR agar ikut berperan dalam mendorong KPK supaya berani dalam menegakkan hukum.
“DPR sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan yang salah satunya terhadap KPK harus menggunakan kewenangannya secara maksimal, dan ini bukan intervensi karena ini memang sudah menjadi tugas DPR,” tandas Munarman. [AW]