ISTANBUL, (Panjimas.com) – Beberapa pakar dan ahli dari Turki dan Azerbaijan telah mengatakan bahwa Tragedi pembantaian Khojaly di 1992 seharusnya digolongkan sebagai ‘genosida’, aksi pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa.
Mengutip Anadolu, Caspian Strategi Institute (CSI) baru-baru ini menerbitkan sebuah laporan berjudul “Khojaly Genocide” pada peringatan ke-24 peristiwa ini, yang dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat kerusakan massif yang disebabkan oleh pendudukan Armenia di wilayah barat Azerbaijan.
Dalam konferensi pers di kantor Caspian Strategi Institute (CSI) di Istanbul Turki, anggota Parlemen Azerbaijan, Ganira Pashayeva, mengkritik komunitas internasional untuk lebih memilih sebutan ‘genosida’ daripada ‘massacre’.
“Sudah jelas bahwa itu adalah genosida menurut Konvensi PBB,” katanya. “Sekelompok orang tewas karena asal etnis mereka dan keyakinan Agama mereka (yakni Umat Islam di Khojaly).”
Untuk diketahui, PBB membatasi penggunaan istilah ‘genosida’ untuk “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, bangsa, etnis, ras atau agama”.
Laporan yang diterbitkan oleh Caspian Strategi Institute (CSI) menyatakan bahwa sekitar 7.000 bangunan umum, 693 sekolah, 695 fasilitas kesehatan dan 800 kilometer jalan dihancurkan.
Laporan CSI juga mengatakan bahwa invasi pasukan Armenia menyebabkan kepunahan dan hancurnya warisan budaya di Azerbaijan, mencakup 927 Perpustakaan, 464 Monumen bersejarah, 44 Candi, dan 9 Masjid, semua bangunan tersebut hancur berantakan. Selain itu, hampir 40.000 benda Museum juga dilaporkan hilang.
Kini, beberapa Negara telah mengakui tragedi Khojaly 1992 sebagai sebuah ‘genosida’.
Pasukan Armenia, dibantu oleh Resimen ke-366 Rusia, mengambil alih kota Khojaly di Nagorno-Karabakh pada tanggal 26 Februari 1992, setelah menghantam kota itu dengan artileri berat dan tank, yang dibantu pula oleh resimen infanteri (prajurit darat).
Hanya dengan 2 jam gempuran pasukan Armenia dan Rusia kemudian menewaskan 613 warga sipil Azerbaijan, termasuk 116 perempuan dan 63 anak-anak dan 487 korban lainnya mengalami luka kritis, demikian menurut angka resmi.
Invasi Armenia di wilayah Nagorno-Karabakh Azerbaijan dimulai pada tahun 1988 dengan konflik kecil, akan tetapi konflik tersebut berkembang menjadi perang skala besar pada tahun 1992.
Pada akhir perang di tahun 1994, delegasi Armenia dan Azerbaijan mengadakan pembicaraan mengenai status Nagorno-Karabakh di bawah pengawasan Organization for Security and Co-operation in Europe’s Minsk Group, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa, Minsk Group.
Pembicaraan sejauh ini tidak menghasilkan hasil dan bentrokan sporadis masih terus berlangsung antara pasukan Armenia dan Azerbaijan.
Saat ini, Nagorno-Karabakh dan 7 Distrik yang berdekatan, yang mencakup lebih dari 20 persen wilayah Azerbaijan, masih di bawah pendudukan Armenia.
Sebelumnya pada hari Jumat (26/02/2016), Duta Besar Azerbaijan untuk Ethiopia dan Wakil tetap untuk Uni Afrika, Elman Abdullayev, meminta keadilan dan pengakuan untuk Khojaly Massacre.
Duta Besar Elman berbicara dalam sebuah program yang diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika di ibukota Ethiopia, Addis Ababa untuk memperingati para korban tragedy genosida Khojaly.
“Kami mengirimkan pesan kepada masyarakat internasional untuk membawa para pelaku yang terlibat dalam genosida ini ke Pengadilan seraya kita memperingati para korban Khojaly” kata Duta Besar Elman Abdullayev. [IZ]