VALETTA, (Panjimas.com) – Sebuah Kapal penyelamat para imigran yang sebelumnya sempat digunakan untuk menyelamatkan ribuan nyawa di Mediterania akan memulai sebuah misi baru yang menantang di Asia Tenggara.
Phoenix, merupakan Kapal milik Malta-based charity Migrant Offshore Aid Station (MOAS) sebuah organisasi amal untuk para imigran yang berbasis di Malta yang bergerak di lepas pantai Mediterania. Kapal Phoenix sebelumnya telah digunakan untuk menyelamatkan sekitar 12.000 orang yang bepergian dengan perahu dari Libya ke Italia sejak inisiatif tersebut diluncurkan pada tahun 2014, seperti dilansir oleh KLFM967.
Selama 4 bulan terakhir Kapal Phoenix telah merapat di luar wilayah ibukota Thailand Bangkok. Kapal penyelamat dengan fasilitas medis ini sedang diperbaiki dan ditingkatkan fungsinya menjelang misi berikutnya yakni tugas selama sebulan di Teluk Benggala dan Laut Andaman.
Tahun lalu puluhan ribu imigran Muslim Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh berusaha melakukan penyeberangan laut berbahaya menuju Malaysia dan Indonesia.
Dengan musim hujan yang mereda, sangat perlu diantisipasi bahwa gelombang imigrasi akan berlangsung segera.
Menjelang keberangkatan Kapal Phoenix menuju Malaysia, pendiri MOAS Christopher Catrambone berbicara kepada Sky News bahwa tujuan misi MOAS kali ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang skala masalah dengan menggunakan drone jarak jauh di area Teluk Benggala dan Laut Andaman untuk pertama kalinya, selain itu juga untuk memberikan bantuan medis serta penyelamatan jika mereka menemukan para manusia perahu (imigran) berada dalam kesulitan.
“Fokus kami adalah untuk menyelamatkan mereka di laut, kami tidak ingin melihat para imigran itu terdampar di lautan, kami tidak ingin melihat para imigran mati di lautan,” kata Catrambone.
“Kami ingin memastikan bahwa mereka dapat diselamatkan dengan tepat dan bahwa hukum lautan perlu dipatuhi, dan itu dapat dicapai dengan memberikan layanan secara profesional yang harapanya memberikan nilai tambah dalam proses penyelamatan
Catrambone mendesak perlunya kerjasama dengan pemerintah setempat dan ini mencerminkan pengakuan bahwa MOAS dapat beroperasi di kawasan Asia Tenggara, dan menurutnya ini lebih sulit daripada beroperasi di kawasan Eropa.
Proses konsultasi telah dilakukan dengan pihak berwenang di Thailand, Malaysia dan Indonesia dalam upaya untuk meyakinkan mereka bahwa kami (MOAS) berniat untuk mendukung bukan menggantikan sistem penyelamatan mereka yang telah ada sebelumnya.
Tetapi mengingat keengganan sejauh ini dari bangsa-bangsa wilayah pesisir untuk memikul tanggung jawab untuk memberikan pemukiman bagi mereka yang selamat, mungkin akan ada saat-saat sulit di sepanjang jalan.
Kapten Kapal Phoenix, Thomas Johansen, mengatakan ia bermaksud untuk menghindari konfrontasi, atau situasi-situasi di mana mereka tidak memiliki tempat untuk para imigran yang diselamatkan untuk mendarat, dengan memastikan komunikasi penuh dengan otoritas terkait ketika perahu yang berada dalam kesulitan telah diidentifikasi.
“Kami tahu seberapa sensitif area ini. Jika Anda melakukan sesuatu melawan keinginan mereka [Otoritas Thailand, Malaysia, Indonesia], atau melakukan sesuatu secara rahasia? Tidak. Tidak pernah, Kami tidak akan melakukannya,” katanya.
Tahun lalu ada kecaman internasional terhadap permasalahan bahwa perahu yang membawa imigran Rohingya dipaksa kembali ke lautan oleh otoritas, atau bahkan ditinggalkan oleh komplotan perdagangan manusia, mereka ditinggalkan dalam perahu hingga terdampar dan kelaparan.
Dalam kasus lain, para imigran Rohingya dibawa ke kamp-kamp yang dijalankan oleh komplotan geng perdagangan manusia di daerah perbatasan Thailand-Malaysia, menyusul ditemukannya kuburan massal di beberapa kamp-kamp ini.
Untuk diketahui, menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia. Seperti diberitakan panjimas sebelumnya, sebanyak 140.000 Muslim Rohingya yang tinggal di pinggiran Sittwe, hidup dipisahkan dari masyarakat Buddhis Rakhine. Para Muslim Rohingya juga tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan yang layak, pendidikan, dan kesempatan kerja, hal inilah yang telah mendorong mereka melarikan diri dengan perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Banyak dari Muslim Rohingya yang berbondong-bondong telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 2012, Mereka yang masih tetap tinggal hidup dipisahkan dalam ketakutan akan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar yang tidak mengakui hak kewarganegaraan Rohingya, demikian menurut beberapa kelompok HAM.
Otoritas Myanmar sendiri memandang Rohinya bukan bagian dari warga Negara Myanmar dan menolak memberikan akses dan hak kewarganegaraan, malah menyebut Rohingya sebagai para imigran Bengali.
Lebih dari 1 juta Muslim Rohingya tinggal di provinsis Rakhine, dimana disana telah menjadi saksi serangkaian kekejaman dan kekerasan etnis Rakhine Buddha terhadap minoritas Muslim sejak pertengahan tahun 2012.
Menurut Arakan Project, sebuah kelompok pemantauan pelanggaran hak asasi manusia dan migrasi di Teluk Benggala, konflik telah menewaskan ratusan orang dan lebih dari 140.000 kebanyakan Muslim Rohingya hidup dengan kondisi terbatas pada kamp-kamp pengungsian .
Setelah krisis perdagangan manusia di Asia Tenggara pada awal tahun ini, para Negara tetangga Myanmar telah meminta pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan nya masalah Muslim Rohingya yang menurut kelompok hak asasi manusia telah banyak menjadi korban perdagangan manusiam sehingga kasus migrasi besar-besaran Rohingya dapat memperumit masalah perdagangan manusia dan memperburuk keadaan.
Selain operasi baru di kawasan Asia Tenggara, MOAS terus melanjutkan misi mereka di Aegean, dengan kapal penyelamat besar lainnya yang berbasis di Agathonisi, Yunani. Kapal MOAS terlibat dalam penyelamatan para pengungsi kebanyakan dari Suriah hampir setiap harinya dimana mereka mencoba untuk menyeberang dari Turki. [IZ]