JAKARTA, (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritisi sistem kredit pembiayaan ibadah haji dan umrah di perbankan syariah Indonesia karena dianggap mempromosikan umat muslim berhutang.
“Islam tidak menganjurkan untuk berhutang kecuali dalam keadaan terpaksa. Berbalik 180 derajat, kini malah perbankan syariah yang didasari pembentukannya dengan syariah Islam malah promosi besar-besaran mengajak umat Islam berhutang,” kata Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama, KH Yusnar Yusuf, dalam keterangannya, di Jakarta, Sabtu (27/2/2016). Seperti dilansir antaranews.
Perbankan syariah yang dilandasi UU Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang menjalankan sistemnya sesuai ajaran Islam. Namun saat ini, Yusuf melihat perkembangannya malah bertolak belakang.
Tidak tanggung-tanggung, lanjut dia, ajakan berhutang justru melirik pangsa haji dan umrah. Karena keterbatasan finansial, bank syariah seolah hadir sebagai pahlawan dan mengabaikan bahwa haji dan umrah dilakukan bagi umat Islam yang sanggup, termasuk finansial.
“Tak heran jika daftar tunggu haji semakin panjang akibat pembiayaan hutang ini, rata-rata 19 tahun, pastinya pertumbuhan daftar tunggu juga akan terus meningkat Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Pangsa pasar hanya kisaran 4,5 persen,” ujar Yusuf.
Jika demikian, kata dia, tak ada bedanya mereka dengan bank konvesional dan jika terus dibiarkan maka, Dia menyatakan akan membuat surat resmi kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meninjau kembali soal ini.
“Jika tidak ada juga reaksi maka kami akan mengajukan naskah akademik kepada DPR untuk merevisi UU Nomor 21/2008 yang saat ini sedang kami proses. Jangan manfaatkan ibadah untuk keuntungan apalagi mengajarkan umat Islam untuk berhutang soal ibadah, ini akan menjadi budaya buruk nantinya ke depan,” tuturnya.
Saat dikonfirmasi, seorang pengurus lain PB Al Washiliyah, Affan Rangkuti, mengatakan, yang jadi masalah adalah fasilitas uang muka bagi ibadah haji dan umrah dengan skema pembiayaan yang sama dengan sistem kredit pada umumnya.
“Artinya jamaah bisa berangkat berhaji atau umrah walau belum lunas pembayaranya, ini kan berarti meninggalkan hutang yang tidak diajarkan dalam Islam,” kata dia.
“Selain itu bisa saja ke depannya ibadah ini dituding penyumbang kemiskinan Indonesia, boleh jadi juga puluhan ribu jemaah umrah tertipu dan terlantar akibat umrah biaya murah yang ditenggarai adanya peran hutang,” ujar Rangkuti, yang juga ahli ekonomi syariah tersebut.
Ditambahkan, perbankan syariah yang saat ini melakukan praktik pembiayaan ibadah haji dan umrah dengan skema kredit hampir semuanya, termasuk perbankan syariah berplat merah.
“Saat ini semua perbankan syariah melakukannya termasuk yang milik pemerintah, silahkan saja lihat di laman web resmi mereka seperti Permata Bank Syariah, Mandiri Syariah dan lainnya ya memang seperti itu adanya,” ujarnya.
Hal tersebut, kata Affan tidak terlepas dari UU Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Dana Haji yang menempatkan dana haji di bank syariah.
“Sebetulnya tidak apa-apa, namun karena di kita masih menganut sistem dualisme perbankan (konvensional dan syariah) jadi bermasalah. Karena syariah tidak melulu bicara suku bunganya nol persen, tapi juga etika, moral dan akhlak dalam berbisnis,” ujarnya. [RN]