JAKARTA, (Panjimas.com) – Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini dibahas dalam Pansus DPR RI, kata Ketua Bidang Hukum MUI Zainut Tauhid Saadi.
“Dukungan MUI tersebut sangat kuat karena substansi RUU Larangan Minuman Beralkohol sejalan dengan dua fatwa MUI yang dikeluarkan, yaitu berkenaan dengan hukum alkohol dalam minuman pada tahun 1993 dan diperbaharui pada tahun 2009 tentang alkohol,” kata Zainut lewat keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, (25/2/2016) seperti dilansir antaranews.
Dua putusan MUI itu, kata dia, pada prinsipnya jelas bahwa hukum alkohol termasuk alkohol dalam minuman adalah haram atau dilarang. Pelarangan mengacu pada ketentuan dalam Alquran dan hadis yang jelas dan gamblang melarang minuman beralkohol atau khamr.
Dalam pandangan MUI, lanjut dia, RUU Larangan Minuman beralkohol memiliki landasan pembentukan yang kuat, baik aspek filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Dari segi filosofis, lanjut dia, ajaran Islam bertujuan memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala sesuatu yang memberi manfaat bagi tercapainya tujuan tersebut diperintahkan, dianjurkan, atau diizinkan untuk dilakukan. Sementara itu, yang merugikan bagi tercapainya tujuan tersebut dilarang atau dianjurkan untuk dijauhi.
Dari aspek sosiologis, kata dia, dampak negatif dari minuman beralkohol lebih besar daripada efek positifnya, seperti pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani dan rohani, kriminalitas, kenakalan remaja, gangguan keamanan, dan ketahanan sosial.
“Di Indonesia banyak terjadi jatuhnya korban jiwa akibat mengonsumsi minuman beralkohol,” katanya.
Fakta hukum saat ini, kata dia, penegakan hukum relatif sangat lemah terbukti banyak peredaran minuman beralkohol secara ilegal dan konsumsi yang bebas sehingga mengancam kehidupan masyarakat dan khususnya generasi muda.
Dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol, kata dia, MUI mengusulkan beberapa hal, antara lain soal penggolongan minuman beralkohol perlu mencakup jenis minuman yang kadarnya di bawah 1 persen maupun yang melebihi batas kualifikasi yaitu di atas 55 persen.
“Bagi MUI prinsipnya minuman beralkohol, baik sedikit kadarnya maupun banyak, tetap dilarang,” katanya.
Berkenaan dengan ketentuan pidana, khususnya bagi pengguna, MUI lebih menekankan pada aspek pembinaan dan rehabilitasi.
“Jangan kriminalisasi, tetapi bisa diganti dengan denda atau mengacu pada konsep pidana yang baru seperti kerja sosial,” katanya. [RN]