JAKARTA (Panjimas.com) – Ustadz Abu Rusydan, aktivis gerakan Islam yang pernah berjihad di Afghanistan ini mengungkapkan pengalaman pribadinya ketika ia ditangkap dan menjalani siksaan aparat.
Ustadz Abu Rusydan pernah ditangkap pada tahun 2003 dengan tuduhan menyembunyikan pelaku bom Bali I, Ustadz Mukhlas atau Ali Ghufron.
Sebagai korban Densus 88, Ustadz Abu Rusydan mengenang pengalaman pahit yang diterimanya. Ia mengungkapkan, Densus 88 telah mengabaikan prosedur yang telah dibuat sendiri, diantaranya penangkapan dirinya saat itu tanpa disertai surat penangkapan.
Lebih dari itu, aparat Densus 88 memiliki moral yang buruk, hingga berani melontarkan cacian terhadap seorang ulama seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Hal itu disampaikan Ustadz Abu Rusydan dalam diskusi publik yang digelar Institute for Development Research and Analysis (INDRA) bertajuk ‘Quo Vadis Revisi UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme’ di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta pada Selasa, (16/02/2016).
“Anggota Densus itu mengatakan, Abu Rusydan apakah saudara kenal Abu Bakar Ba’asyir?” ujar Ustadz Abu Rusydan menirukan pertanyaan.
Ia pun meluruskan, “Ustadz Abu Bakar Ba’asyir,” jawabnya.
“Ustadz Apa? Bahkan ada kalimat anjing dan babi,” sambungnya.
Hingga kini, Ustadz Abu Rusydan masih mengingat, siapa perwira polisi yang saat itu menginterogasi dan mengeluarkan cacian tersebut.
“Saya sampai katakan pada waktu itu, masih ada orangnya, saudara Petrus Golose dan Boy Rafli ikut, itu ketua tim yang menangkap saya,” ujarnya.
Ustadz Abu Rusydan menegaskan bahwa ia merelakan segala siksaan yang pernah dialaminya, namun ia akan menuntut pertanggung jawaban di akhirat atas cacian yang dialamatkan kepada sosok ulama, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
“Saya katakan kepada mereka, saya rela seluruh siksaan yang saudara timpakan kepada saya, tapi saya tidak rela dua kalimat, anda mengatakan babi dan anjing. Saya akan tuntut nanti di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala,” tandasnya. [AW]